Minggu, 14 Juni 2009

LIBERALISME MUSUH YANG NYATA



ULIL keponakan Gus Dur (GD). Sang paman (GD) merupakan sosok yang sempurna untuk menjadi contoh konsepsi “bersatunya energi keshalihan dengan energi kemaksiatan” sekaligus.

Di kantor PBNU Kramat, khususnya di ruang kerjanya, Gus Dur mengelola ormas Islam bernama NU. Di tempat itu pula Gus Dur mengelola Aryanti dan makhluk sejenis itu.

Di kalangan NU ada seonggok Kiyai yang dijuluki Kiyai Pajero. Ia sehari-hari mengelola pesantren, berdakwah dan bimbingan haji. Pada suatu hari setelah bimbingan haji di sebuah hotel, Kiyai Pajero menelpon DW janda “pejuang priok” untuk datang, untuk ditiduri, setelah sebelumnya melakukan prosesi singkat “nikah sekejap” ala Pajero.

Dokter Umar Wahid, adiknya Gus Dur (berarti masih pamannya Ulil), pernah meminta Zarima membuat pengakuan palsu, bahwa anak yang dikandungnya itu adalah hasil perselingkuhan dengan Amien Rais.

Imbalannya, lima miliar rupiah.

Uang sebanyak itu akan digunakan untuk memfitnah Amien Rais demi membela sang kakak yang gemar berzinah. Zarima menolak. Artinya, Zarima yang bukan keturunan keluarga Kiyai itu ternyata akhlaqnya lebih baik dari Umar Wahid yang keturunan keluarga Kiyai.

Ketiga sosok di atas adalah organisme yang dapat menampung energi keshalihan dan energi kemaksiatan sekaligus.

Barangkali Ulil gemar menonton videoklip yang menayangkan wanita muda berjingkrak dengan busana seksi dengan dada terbuka, dan diantara dua buah dada yang mengintip bergelayutan seuntai kalung salib. Buah dada yang mengintip adalah energi kemaksiatan, sedangkan kalung salib adalah energi keshalihan.

Jadi bisa dimengerti mengapa dari kepala Ulil lahir hal-hal seperti itu.

Tulisan Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta : “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” yang dimuat di Kompas pada tanggal 18 November 2002 mengandung banyak kekeliruan yang mendasar.

Di situ Ulil menganggap bahwa Islam adalah satu agama yang dapat dirubah oleh manusia sesuai dengan perkembangan zaman. Ulil juga mengatakan bahwa ajaran-ajaran Islam seperti jilbab, potong tangan, qishas, dan lain-lain tak lebih dari budaya Arab yang tak perlu diikuti. Ulil menyatakan bahwa seorang perempuan muslim boleh menikahi pria non muslim serta semua agama adalah benar.

Semua pernyataan Ulil di atas, bertentangan dengan perintah Allah yang tercantum dalam


kitab suci Al Qur’an.

Sesungguhnya pedoman ummat Islam adalah Al Qur’an:
"Kitab al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS.Al-Baqarah:2).

Karena itu, saya mengajak ummat Islam untuk mengkaji ayat-ayat Al Qur’an untuk mengetahui apakah pernyataan Ulil selaras atau bertentangan dengan Al Qur’an.

Ulil:
> SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup;
> sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia.
> Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu
> dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
> …
> Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai
> denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.

Pernyataan Ulil di atas bertentangan dengan ayat berikut:
"…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmut-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…" (Al Maidah 3).

Jika agama Islam harus disesuaikan dengan hawa nafsu manusia, maka agama Islam harus disesuaikan dengan manusia yang mana? Sekarang ada sekitar 7 milyar manusia dengan ribuan paham dan aliran yang berbeda bahkan ada yang saling bertentangan satu sama lain, misalnya Kapitalisme, Liberalisme, Sosialisme, Komunisme, dan lain-lain. Agama Islam harus disesuaikan ke paham buatan manusia yang mana?

Pada zaman Ibrahim, Raja Namrudz beserta ummatnya menyembah berhala, sementara pada zaman Fir’aun, Fir’aun mengaku sebagai Tuhan. Pada zaman jahiliyyah, membunuh anak perempuan adalah hal yang wajar, sementara pada kepercayaan tertentu, mengorbankan manusia untuk sesajen adalah hal yang sah dan berlaku umum. Apakah ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan manusia dan menganggap hal itu adalah benar?

Seharusnya, ajaran Islam menjadi petunjuk bagi manusia. Bukan manusia yang jadi “petunjuk” bagi ajaran Islam, sehingga ajaran Islam dirubah-rubah seperti patung sesuai dengan hawa nafsu manusia:

Memang dalam Islam dikenal ijtihad. Tapi ijtihad ini baru dilakukan jika ada masalah baru yang tidak diatur secara jelas dalam Al Qur’an dan Hadits. Misalnya apakah narkoba itu haram atau halal. Meski demikian, keputusan ijtihad itu biasanya selalu berdasarkan Al Qur’an dan Hadits melalui metode Qiyas. Contohnya, meski Narkoba tidak dilarang (karena waktu itu belum ada), tapi dengan ayat Al Qur’an yang melarang manusia berbuat kerusakan atau merusak dirinya serta tidak boleh mubazir, maka Narkoba otomatis dilarang karenanya.

Begitu pula dengan musyawarah. Untuk satu masalah yang tidak diatur secara detail oleh Al Qur’an dan Hadits, misalnya mencari bisnis apa yang baik atau bagaimana mengatur strategi peperangan, maka Nabi dan para sahabat biasa bermusyawarah:

Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Syura: 38)

Tapi jika di Al Qur’an dan Hadits sudah jelas disebutkan, tidak boleh manusia melanggarnya (misalnya perempuan muslim menikah dengan pria non muslim)

Ulil menganggap jilbab, potong tangan, qishash, dan lain-lain adalah budaya Arab yang tak perlu diikuti, padahal hal tersebut merupakan perintah Allah yang tercantum dalam Al Qur’an:
> Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah
> diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib
> diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.


Pernyataan Ulil bahwa jilbab adalah kebudayaan Arab dan bukan ajaran Islam yang harus dituruti bertentangan dengan Al Qur’an dan sejarah yang ada.

Pada zaman Jahiliyyah, kaum perempuannya biasa mengenakan pakaian tipis, ketat dan mengumbar aurat. Contohnya masih terdapat pada para penari perut Mesir yang cuma mengenakan BH serta cawat yang mengumbar aurat.

Oleh karena itulah Allah menurunkan ayat agar ummat Islam mengenakan jilbab agar tidak mengumbar aurat seperti yang dilakukan oleh perempuan jahiliyyah:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

"Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka…" (An Nuur:31)

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu melakukan tabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah dahulu...." (Al-Ahzab: 33).

Tabarruj adalah perilaku mengumbar aurat atau tidak menutup bagian tubuh yang wajib untuk ditutup yang dilakukan perempuan jahiliyyah.

Perintah mengenakan jilbab, maksudnya untuk menjauhkan manusia dari perbuatan zina serta menjaga agar para remaja maupun anak-anak tidak rusak moralnya karena melihat para wanita yang berpakaian mini dan merangsang.

Qishash juga merupakan aturan yang diturunkah oleh Allah dalam Al Qur’an:
"Sesungguhnya pada hukum qishash ada kehidupan bagi kalian wahai orang yang cerdas, semoga kalian bertakwa." (Al-Baqarah: 179)

Hukum Qishash diturunkan Allah SWT agar manusia bisa hidup tenang dari ancaman pembunuh.

Demikian pula hukum potong tangan bagi pencuri, meski jika tak mencapai nisab (jumlah curian minimal) atau pada kondisi tertentu (terpaksa) seorang pencuri bisa terhindar, jelas tercantum dalam Al Qur’an. Ini bukan “budaya Arab” seperti yang dikatakan Ulil:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Al Maa-dah:38)

Jika perintah potong tangan bagi pencuri ini diterapkan, tentu para ibu-ibu yang belanja di pasar akan aman dari para copet atau pun para penodong.

Ulil mengatakan jilbab itu adalah pakaian menurut standar kepantasan umum, tak perlu mengikuti aturan Al Qur’an:
> Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu.
> Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum
> (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
> perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.


Tulisan Ulil di atas sangat relatif dan membingungkan. Di Barat, wanita memakai celana hipster dan terlihat pusarnya atau memakai rok mini sehingga pahanya terlihat itu pantas saja. Di pantai-pantai, perempuan memakai bikini atau cawat dan BH juga adalah hal yang pantas menurut manusia, sehingga para Miss Universe pun mengenakan hal itu. Bahkan di satu pemandian umum di Bali, laki dan perempuan berenang telanjang bulat adalah hal yang pantas di sana menurut manusia. Di Irian Jaya, pria pakai Koteka atau wanita telanjang dada memenuhi standar kepantasan umum di sana. Jika menurut pernyataan Ulil, maka hal di atas adalah hal yang wajar-wajar saja…

Adakah ajaran Islam yang telah memerintahkan para perempuan untuk mengenakan jilbab (satu pakaian yang menutupi seluruh aurat tubuh, tidak tipis, tidak ketat, dan tidak berlebihan) tidak perlu diikuti, tapi kita harus mengikuti “perintah” Ulil di atas?

Jika yang harus diikuti adalah “kepantasan umum” yang berubah-rubah sesuai keinginan manusia, bukan ajaran Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan hadits, maka praktek homoseksual, lesbianisme, sex bebas, pelacuran, perjudian dan sebagainya adalah halal dan sesuai dengan ajaran “Islam.” Padahal Allah SWT di Alkitab maupun di Al Qur’an disebutkan menghancurkan kota Sodom karena mereka melakukan praktek homoseksual.

Masyarakat (terutama di Negara-negara Barat), menganggap pelacur bukanlah pekerjaan yang hina. Bahkan di sini pun para pelacur sekarang disebut sebagai “Pekerja Seks,” tak berbeda dengan pekerja lain seperti Dokter, Karyawan, Guru, dan lain-lain. Padahal dalam Al Qur’an Allah melarang manusia untuk mendekati zina, apalagi melakukannya!

Ulil mengatakan wanita Muslim boleh menikah dengan pria Non Muslim, padahal di Al Qur’an hal itu jelas dilarang:
> Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki
> non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas
> melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia
> yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik
> yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen
> berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.


Pernyataan Ulil yang mengatakan bahwa perempuan Muslim boleh menikah dengan lelaki Non Muslim jelas bertentangan dengan Al Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al Mumtahanah: 10)

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebe-lum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Al-Baqarah: 221).

Ulil mengatakan bahwa hukum Allah itu tidak ada, padahal dalam Al Qur’an ditegaskan yang tidak mau mengikuti hukum Allah adalah kafir, fasik, dan sebagainya, apalagi yang tidak mengakui keberadaannya:

> Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti
> dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual
> beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip
> umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut
> sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam.
> …
> Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah
> organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama
> juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada
> adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang
> berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.


Pernyataan Ulil yang yang mengatakan bahwa tidak ada Hukum Tuhan atau Hukum Allah serta yang ada dan harus diikuti adalah hukum manusia, jelas bertentangan dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an yang telah saya sebut di atas. Padahal Allah SWT menegaskan, bahwa mereka yang tidak memutuskan menurut hukum Allah adalah kafir:

" Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al Maidah: 44)

"Dan telah kami tetapkan terhadap mereka didalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-lukapun ada qisasnya., maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah oraang-orang yang zhalim." (QS. Al Maidah: 45)

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka ingin berhukum kepada thagut (hukum buatan manusia), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thagut itu. Dan syaitan ingin menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: 'Marilah kamu tunduk kepada (hukum) yang allah turunkan dan kepada (hukum) Rasul', niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dari (mengikuti) kamu dengan sekuat-kuatnya." (An-Nisaa: 60-61)

Pada pernyataannya di bawah, Ulil meragukan Rasul Muhammad SAW sebagai contoh, karena banyak juga kekurangannya, serta Islam yang diwujudkan oleh Nabi hanyalah histories, particular dan kontekstual. Selanjutnnya Ulil malah mengajak untuk mencari kebenaran di ajaran Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Yahudi, Tao, bahkan Marxisme!

Bayangkan, belajar agama Islam secara menyeluruh saja, ummat Islam banyak yang tidak sanggup, apalagi kalau harus mempelajari semua agama atau isme seperti yang “disabdakan” Ulil!
Ulil:
> BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran
> semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus
> dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa
> memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya),
> sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
>
> Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan
> dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah,
> Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan
> cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan
> di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
>
> Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya,
> sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan
> sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha,
> Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi,
> kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme.


Allah telah menegaskan bahwa pada Rasulullah itu adalah teladan bagi ummat Islam:

“Sungguh telah ada pada diri Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir dan dia banyak ingat kepada Allah”, Qs al-Ahzab,33:21.
Pada akhirnya, Ulil mengatakan semua agama sama benarnya:
> Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses" yang tak
> pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati, baku, beku,
> jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil Islam (QS 3:19),
> lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar
> adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha
> Benar)."
>
> Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat
> berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama,
> dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang
> berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu
> keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak
> pernah ada ujungnya.


Hal ini jelas bertentangan dengan firman Allah yang menyatakan bahwa agama yang diridhai Allah adalah Islam:

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…" (Al-Imran 19).
"Barang siapa mencari agama selain agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Al-Imran 85).

Jika Allah SWT berfirman agama yang diridhai Allah hanyalah Islam, kemudian Ulil bilang semua agama sama benarnya, manakah yang harus kita ikuti: Allah SWT Tuhan semesta Alam, atau Ulil, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)…???

Bahkan dalam ayat An Nisaa:171, Allah menegur Ahli Kitab karena menyembah Isa sebagai Tuhan atau anak Tuhan:

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, `Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.” (An Nisaa:171)

“Telah dila`nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS 5:78)

Ayat Al Bayyinah 1-6 menjelaskan bahwa Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani) yang mengingkari Nabi Muhammad dan Al Qur’an sebagai orang yang kafir dan akan masuk neraka, bukan surga sebagaimana pendapat segelintir orang:

“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Qur'an), di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus. Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus. Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al Bayyinah:1-6)

Toleransi antar ummat beragama memang harus dijalankan, karena Allah SWT berfirman bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat?.? (Al Baqoroh:256)

Tapi itu tak berarti semua agama adalah benar. Yang betul adalah, setiap agama benar menurut keyakinan masing-masing pemeluknya. Dalam surat Al Kafiruun dikatakan “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”

Pemeluk agama Budha tentu yakin agama Budha lah yang paling benar. Pemeluk agama Kristen tentu yakin agama Kristen lah yang paling benar. Pemeluk agama Islam tentu yakin agama Islam lah yang paling benar. Jika kita tidak menganggap agama kita paling benar, tentu kita pindah ke agama lain yang lebih benar bukan? Atau jika semua agama sama benar, tentu kita bisa berpindah-pindah agama setiap saat.

Jika semua agama beranggapan semua agama adalah benar, untuk apa ada lembaga dakwah atau missionaries Kristen yang mengajak setiap orang untuk ke agamanya masing-masing? Jika benar semua agama adalah benar, kenapa Ulil tidak masuk agama lain saja, misalnya agama Kristen dan bikin aliran Kristen Liberal? Jadi para ulama tidak perlu memberi fatwa mati bagi Ulil.

Meski harus ada toleransi dan saling menghargai antar ummat beragama, tapi tetap ada batas yang harus kita hormati.

Setiap manusia pada dasarnya mengakui sepenuhnya bahwa ketenangan/kebahagiaan yang hakiki akan didapat apabila ia merasa dekat dengan "Kholik/Allah SWT" (penciptanya). manusia adalah makhluk, lemah, senantiasa membutuhkam bimbingan/arahan dari sang kholik, karenanya kholik tidak membiarkan makhluk hidup tanpa arahan, hidup semaunya, tanpa aturan, tanpa suri tauladan

Untuk itulah maka ada aturan agama (syari'at), yang Kholik ciptakan amat sangat sesuai dengan kudrat/kebutuhan si makhluk, atau dengan kata lain aturan yang sempurna. Namun dalam menyerap aturan-aturan yang ada tentu saja manusia akan sangat berbeda satu sama lain, karena begitu banyak faktor yang berpengaruh di sana.

Nafsu manusia... (kemalasan, kesombongan, takabur, dan seterusnya) , kemudian ditambahi dengan permusuhan abadi tentara "Syaitan" yang senantiasa menunggu kelengahan manusia.

Kesemuanya menjadi penyebab bertingkat-tingkatnya kemampuan menusia dalam menyerap dan mengamalkan aturan sang kholik, namun selama mereka tetap berpegang pada aturan yang murni (Qur'an dan Hadits) mereka tidak akan pernah tersesat, tidak akan pernah merasa jenuh sekali dengan kehidupan sehingga mencari pemuasan dengan aneka "hiburan" yang begitu berlebihan. Dalam tingkatan apapun tetap akan dirasakan ketenangan/kebahagiaan itu asalkan sekali lagi "tetap berpegang pada aturan yang murni dan sempurna (qur'an dan hadits)", karena mereka "muslim", kholik selalu bersama mereka.

Berbeda jelas sekali dengan mereka yg begitu memaksakan dan begitu mencari pengakuan kepada makhluk untuk dapat diakui sebagai seorang "muslim" (plus intelek katanya), padahal tidak satu pun aturan Kholik (qur'an dan hadits) yang mereka terima dalam hati nuraninya. Ini perlu ditekankan, karena aturan ini memang benar2 sempurna, sangat sesuai dengan kudrat manusia, universal, berlaku untuk seluruh zaman, tak pernah usang dimakan waktu.

Maka seberapapun berbedanya kondisi kehidupan saat ini dengan aneka dinamikanya, tak akan pernah menjadi masalah selama ia telah masuk dan berupaya menyerap "aturan Kholik" dengan kemampuan yg ada padanya (upaya manusia menjadi kaffah dalam menerima aturan Kholik yg amat sesuai dengan kondisinya sebagai makhluk).

Maka masuk.. kemudian berupayalah (untuk menjadi kaffah), seterusnya adalah hak Kholik untuk menilai.. bukan hak makhluk untuk menilai apakah seseorang telah kaffah atau tidak. Inilah semangat yang hendak ditekankan dalam Islam, satu yg harus dipegang "tetaplah bersama aturan yang murni... tetaplah bersama Qur'an dan Hadits" (diperlukan keikhlasan dalam menerima).

Jika tahap dasar ini telah anda lalui, maka dinamika kehidupan (aneka hiburan/budaya yg rendah menjadi ujian baginya sedang sunnah (suri tauladan) Rasulullah menjadi tantangan yg begitu menggiurkan untuk dapat dilaksanakan.. karena pada hakikatnya seseorang yang telah masuk dan melalui tahap dasar akan mendapat arahan lebih lanjut dari sang Kholik untuk dapat membedakan mana yg benar (sesuai aturan) mana yang tidak... mana yg salah mana yg benar.

Berbeda sekali dengan mereka yg hanya "merasa" menjalankan sebagian aturan... padahal pada hakikatnya tidak sedikitpun aturan yg diikuti (tak ada keikhlasan) atau mungkin telah mengikuti aturan yg salah (aturan Syeitan), atau bahkan mungkin telah menjadi tentara Syaitan dengan motivasi mencari kelengahan sang muslim sejati.... Who knows?? Untuk itu maka....

WASPADALAH!!! WASPADALAH!!! WAHAI MUSLIM!!!

Berikut artikel Ulil Abshar-Abdalla, JIL = Jaringan Iblis Liberal
aa_iwan_oce@yahoo.com

UAA-JIL Islam Kaffah, Mungkinkah? (Sebuah anti-thesa Tentang Konsep Piagam Madinah)

Ulil Abshar-Abdalla, JIL Jakarta. Saya akan mengajukan suatu pikiran kecil yang sudah mengganjal dalam benak saya sejak lama, yaitu perihal "kaffah." Apakah beragama itu harus "kaffah"? "Kaffah" itu artinya adalah menyeluruh. Kalau mau digambarkan dengan bahasa matematik, "kaffah" artinya sudut 360 derajat, lingkaran penuh. Apakah mungkin beragama secara "lingkaran penuh"?

Menurut saya, beragama searah 360 derajat itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi. Secara kejiwaan, orang memerlukan variasi tindakan, keragaman laku. Ada bidang-bidang dalam kehidupan, di mana agama memainkan peran penting, ada bidang-bidang lain yang tidak memerlukan "kata putus" dari agama. Agama yang "kaffah" itu hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami "sofistikasi" kehidupan seperti zaman modern.

Masyarakat Madinah pada zaman Nabi adalah masyarakat sederhana yang belum mengalami kerumitan-kerumitan struktur seperti zaman ini. Masyarakat moden mengalami perubahan yang radikal, mengalami proliferasi bidang-bidang yang begitu kaya. Ledakan bidang-bidang kehidupan zaman modern ini jelas tidak bisa diatasi seluruhnya dengan agama.

Beragama secara kaffah biasa difahami sebagai pelaksanaan diktum-diktum keagamaan secara harafiah, tekstual, menyeluruh, persis seperti diktum itu dilaksanakan pada zaman Nabi. Tentu pamaknaan kaffah semacam ini bukanlah satu-satunya pemaknaan yang mungkin. Tetapi, salah satu pengertian yang populer mengenai kaffah adalah “meng-kopi kehidupan Nabi seperti apa adanya.”

Ambillah contoh berikut ini. Kalau kita mau hidup beragama (ber-Islam) secara kaffah, maka konsekwensinya adalah: boleh jadi seluruh industri hiburan modern sekarang ini harus dihentikan. Kita tak bisa lagi menikmati film-film Hollywood. Padahal, industri hiburan menempati kedudukan yang sangat penting dalam zaman modern.

Di Malaysia, PAS, suatu partai yang mewakili pandangan keislaman yang konservatif, hendak melarang seni Melayu lokal, Makyong. Di Indonesia, FPI dan yang lain-lain mau menutup tempat-tempat hiburan, di Afghanistan orang-orang diwajibkan berjenggot. Di mana-mana, ketika Islam (konservatif) bangkit, dunia hiburan selalu menjadi korban. Apakah hiburan tak boleh? "Boleh!" kata mereka, asal sesuai dengan Islam.

Kalau kita berislam secara kaffah, pertanyaannya adalah "how kaffah can you go?" Masing-masing orang berlomba paling kaffah dari yang lain. Orang-orang yang masih satu senti kurang kaffah dianggap kurang "Islami" oleh orang-orang lain yang kebetulan sudah satu senti lebih kaffah, dan seterusnya. Saya tak sanggup hidup dalam lingkungan di mana orang-orang di dalamnya berlomba menunjukkan kesalehan secara obsesif.

Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah. Ada saat-saat kita beragama dengan khusyuk, ada saat kita bisa menghibur diri sendiri dengan asyik. Panduan yang layak kita petik dari agama adalah ajaran tentang larangan "israf" atau berlebihan. Asal tak berlebihan saja.

Sogeng, Jakarta. Saya kira Ulil benar. Tak ada penganut agama yang kaffah, baik ia seorang muslim, Kristen, Budha, Hindu, atau Kong Hu Chu. Sangat mustahil ada orang beragama secara khaffah, karena missi agama sebenarnya adalah sebagai penyeimbang hidup manusia untuk tidak "berat sebelah" ke arah destruktif dalam hidupnya, ia hanyalah sebuah tawaran ide untuk dinamisasi kehidupan.

Islam yang saya pahami, merupakan agama yang tidak akan pernah mencapai ke-kaffah-an baik dari pemeluknya maupun agamanya. Memang, dalam al-Quran dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, namun kesempurnaan yang dijelaskan dari seluruh isi Al-Quran bukan merupakan kesempurnaan final. Banyak ayat dalam Al-Quran yang menuntut manusia untuk menggunakan akalnya untuk menjelaskannya. Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan al-Quran masih berbentuk dasar-dasarnya saja atau merupakan kesempurnaan ide, ia masih memerlukan tafsiran, ijtihad, atau lain sebagainya untuk menuju ke-kaffah-annya itu.

Ulil Abshar Abdalla, JIL Jakarta. Saya membaca berita tentang pemerintahan Taliban yang kabur dari Kabul, lalu orang-orang pesta pora, perempuan keluar rumah, musik diperdengarkan kembali, dan laki-laki antri cukur jenggot. Orang-orang Muslim sendiri banyak yang mengatakan, apa yang dilakukan Taliban itu tak ada sandarannya dalam Islam; itu semata-mata "medievalisme" yang barbarian. Tapi apa lacur, apa yang dilakukan Taliban, yang tampak konyol oleh kita, itulah yang sebenar-benarnya ada dalam tradisi kita, dalam ajaran klasik Islam kita.

Islam, kalau mau diterjemahkan secara harafiah, jadinya ya Taliban itu. Dan literalisme, sekarang ini, menjadi kegemaran jutaan orang Islam di seluruh dunia. Sebab, literalisme memberi kesan akan "otentisitas", memberi rasa mantap dan yakin-diri akan kehidupan yang sesuai dengan "masa lampau" yang ideal dan suci. Berkali-kali saya katakan dalam forum ini, bahwa masa depan Islam tak bisa lain kecuali Islam liberal, setelah kita menyaksikan sendiri versi modern dari literalisme yang konyol pada Taliban. Kalau orang Islam belum kapok dengan contoh ini, ya kebangetan!

Semoga dengan jatuhnya Kabul, dan kocar-kacirnya Taliban, kocar-kacirlah literalisme Islam yang melahirkan pemahaman keagamaan yang lucu itu. Sejarah bergerak secara progresif, menuju "finalitas" yang makin rasional, makin tercerahkan, makin liberal. Kalau Islam tak mau mengikuti itu, dan berkubang dalam "medievalisme" yang mesum, maka habislah agama ini. Saya masih tetap ingin Islam relevan untuk kehidupan ini, karenanya saya harus menafsir kembali dengan susah payah.

Ichan Loulembah, Puskakom, Jakarta. Pendapat saya, "Islam ibadah" bukan termasuk yang didikusikan Ulil. Yang masuk dalam kategori wacana Ulil adalah "Islam peradaban" dalam pengertian segenap perangkat nilai --yang tidak pernah atau tidak boleh selesai-- yang digunakan secara sadar maupun dibawah sadar oleh penganutnya berdasarkan rekaman emosional, psikologis maupun logis.

Masalahnya adalah "Islam peradaban" itu hanya salah satu peserta kompetisi sosio-kultural yang menghunjam segenap pribadi muslim, dengan segenap keniscayaannya. Di luar itu, ada sejumput nilai yang menggedor setiap detik dengan mesin peradaban modern yang sialnya beroperasi lebih canggih ketimbang Islam. Apakah ini gambaran inferioritas atau kekalahan? Terus terang saya tidak tahu.

AE Priyono, ISAI Jakarta. Dulu, saya biasa menyetel Beethoven No. 5 sambil shalat dengan niat untuk memperoleh kekhusyukan --meskipun akhirnya tetap tidak bisa mendapatkan keduanya secara sekaligus. Kini saya menginginkan suasana yang sangat sunyi untuk mendapatkan dua jenis kenikmatan yang berbeda itu.

Saya tidak pernah mengganggap serius perintah fikih yang melarang musik. Dan di kalangan fundamentalis pun isu ini tetap kontroversial. Toh sebuah jenis Islam yang lain, seperti Rumi, bisa berasyik masyuk dengan musik dan tarian justru untuk mencapai ekstase dengan Tuhan. Atau bukankah nada sengit Ulil itu sekadar skeptisisme terhadap khazanah klasik tertentu yang ditiru secara serampangan oleh kalangan fundamentalis, yang dia sendiri merasa lebih sah memilikinya?

Ulil Abshar Abdalla, JIL Jakarta. Saya mungkin agak berlebihan. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa dunia hiburan dan leisure (baca: kenikmatan waktu senggang) menempati ruang yang begitu besar dalam kehidupan modern. Bahkan ruang publik modern dibentuk salah satunya oleh leisure ini. Tapi, Islam tampaknya abai terhadap hal yang satu ini, dan kalau mau masuk ke dalamnya, ia hanya mempunyai piranti klasik yang sudah tidak memadai.

Saya bukan penikmat hiburan yang baik; saya hanyalah seorang yang sangat amatir untuk itu. Tetapi, saya merasakan ada hal yang sehat dalam suatu ruang publik di mana dunia "leisure" bisa ditampung, di mana hiburan bisa dikembangkan dengan wajar.

AE Priyono mengatakan bahwa larangan musik tidak cukup serius di kalangan kaum fundamentalis. Saya justru berpandangan sebaliknya. Talibanisme telah menjadi hantu yang membayangi saya, sebab saya tahu, apa yang dikerjakan Taliban memang betul-betul ada sandarannya dalam salah satu jenis penafsiran atas Islam, jenis penafsiran yang literal; suatu penafsiran yang memusuhi dunia hiburan dengan obsesif.

Hantu itu lebih mengerikan karena pandangan-pandangan yang "medieval" (baca: bersifat abad pertengahan; maksudnya: sudah tak sesuai lagi) semacam itu tidak saja hendak diselenggarakan sebagai "keasyikan" pribadi, tapi mau ditegakkan melalui negara. Negara mau dijadikan aparatus pengawas "kesalehan" dengan memberangus dunia hiburan.

Saya jelas tidak menganjurkan kehidupan yang permisif. Kritik atas dunia hiburan yang kerapkali membius "nalar yang cerah" jelas harus terus dilakukan. Untuk hal ini, umat Islam patut belajar dari studi-studi kebudayaan (dalam pengertian “cultural studies”) yang muncul belakangan ini. Yang menjadi keprihatinan saya adalah soal pengaturan ruang publik yang mau disesuaikan dengan standar kesalehan yang rigid, dengan meminjam negara sebagai aparatus penegaknya.

Luthfi Assyaukanie, JIL Jakarta. Saya agak berbeda pendapat dengan Ulil soal kaffah itu, yang karena itu pemahamannya tentang konsep itu menjadi melebar ke mana-mana, sesuatu yang bisa dihindari kalau istilah itu didudukkan dalam konteks al-Quran yang sebenarnya. Ulil, menurut saya, sudah "terpengaruh" dengan penafsiran awam yang mengartikan "silmi" semata-mata sebagai "Islam." Karenanya, surah Albaqarah (208) itu dipahami secara literal: silmi=Islam, karena akar kata s-l-m sama dengan -i-s-l-m.

Padahal, kalau kita membuka tafsir-tafsir al-Quran dan membacanya secara kritis, kata "silmi" itu bukan berarti Islam, paling tidak bukan satu-satunya. Bahkan ada sebuah kiraat yang diriwayatkan dari A'masy, kata itu tidak dibaca "silmi" tapi "salami" yang tentu saja memiliki makna berbeda dari pengertian yang selama ini beredar. Perlu diketahui, kiraat ini sahih.

Zamakhsyari, imam tafsir yang menurut saya paling ahli dalam bahasa Arab, dalam tafsir Al-Kassyaf-nya, misalnya mengartikan istilah itu dengan "ketaatan kepada Tuhan." Pendapatnya ini diperkuat dengan asbabun nuzul ayat tersebut, yang sesungguhnya ditujukan bukan untuk orang-orang Islam, tapi justru untuk Ahlul Kitab yang dalam konteks itu dianggap punya kecenderungan bersikap "sinkretis."

Dalam konteks "silmi" yang berarti "islam" kita bisa membandingkannya dengan asbabun nuzul ayat tersebut yang jelas-jelas akan memberikan impresi berbeda dari yang selama ini kita pahami dari kaum literalis. Ayat itu diturunkan untuk Abdullah bin Salam, seorang Yahudi Madinah yang konon setelah masuk Islam tetap menjalankan ritual-ritual keagamaan lamanya (ia masih menjalankan ritual sabat dan membaca taurat dalam salat!), sesuatu yang membuat para sahabat "cemburu" dan kemudian protes kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat "udkhulu fissilmi kaffah" itu sebagai protes untuk sikap keberagamaan Abdullah yang sinkretis itu.

Jadi, "kaffah" itu saya kira tak ada hubungannya dengan "berislam secara total" seperti selama ini dipahami, tapi ia hanyalah pesan untuk menghindari sinkretisme.

Ulil Abshar-Abdalla, JIL Jakarta. Talibanisme adalah puncak kevulgaran literalisme Islam yang dimulai sejak gerakan wahabisme merebak di tanah Nejd. Peristiwa di Afghanistan ini makin membuat saya yakin bahwa "kesalehan privat" tidak bisa ditegakkan melalui negara. Agama haruslah menjadi kesadaran invidual yang bebas, tanpa diawasi oleh lembaga ekstra-persona yang nyinyir dan cerewet.

Saya makin yakin, dengan kejadian di Afghanistan itu, kehidupan haruslah dipecah menjadi dua. Di satu pihak adalah kehidupan privat atau pribadi, di mana agama memainkan peran yang penting. Dalam kehidupan ini kita mengembangkan apresiasi dan penghayatan yang mendalam dan khusyuk terhadap dimensi-dimensi spiritual dalam kehidupan. Di pihak lain adalah kehidupan publik yang harus diatur sesuai dengan kesepakatan-ksepakatan masyarakat. Agama hanyalah menjadi inspirasi untuk pengaturan itu.

Dalam kehidupan publik, Tuhan menyerahkan semua hal pada voting. "Antum a'lamu bi umuri dunyakum," kata Nabi; kalian lebih tahu urusan mundan yang anda hadapi setiap hari. "Fa-ma sakata 'anhusy syari'u fahuwa 'afwun," kata Nabi dalam hadis yang lain; apa-apa yang agama diam, maka itu berarti memang bukan urusan agama, ia urusan duniawi yang menjadi kawasan "mubah" (diperbolehkan). Saya memandang bahwa kaidah Islam sangatlah sederhana:

Pertama, kaidah dasar dalam urusan ritual adalah: semua hal yang tidak memperoleh pengesahan dari agama, adalah haram (al ashlu fil 'ibadati al hurmatu). Orang tidak boleh menciptakan cara tersendiri untuk salat. Salah ya harus seperti diajarkan Nabi itu, "Shallu kama ra-aitumuni ushalli" (salatlah sebagaimana kalian lihat aku salat). Ritual-ritual Islam sudah ditetapkan dengan pasti, tinggal dijalankan saja.

Kedua, kaidah untuk kehidupan mundan dan duniawi: semua hal adalah boleh, kecuali yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Catatan saya: kaidah ini masih mengandung kelemahan. Menurut saya, kaidah ini seharusnya berbunyi demikian: sesuatu yang bersifat mundan adalah boleh, kecuali yang atas alasan konsensus publik dilarang.

Dengan pandangan semacam ini, saya sebetulnya ingin mengatakan bahwa "birokratisasi kehidupan" yang sekuler adalah satu jenis pengaturan kehidupan yang paling masuk akal sekarang ini. Dalam pengaturan yang semacam itu, terdapat kemungkinan yang tanpa batas untuk mengoreksi kesalahan dan penyelewengan yang terjadi dalam pengaturan kehidupan publik. Sebab, semua perkara ditentukan melalui proses "duniawi" yang relatif, tidak mempunyai klaim keabsolutan. Karena itu, sikap paling ideal sebagai Muslim sekarang ini adalah sebagai berikut:

Pertama, secara individual menghayati relijiusitas yang mendalam; mengembangkan penghayatan spiritual yang penuh dengan cinta pada Allah. Dengan kata lain, secara individual model yang ideal adalah Rabiah Al Adawiyah, seorang wali perempuan yang mencintai Allah secara tuntas dan tanpa batas.

Kedua, secara sosial, mengembangkan kehidupan publik berdasarkan kesepakatan-kesepakatan umum yang dicapai secara demokratis. Kehidupan publik ia kembangkan berdasarkan inspirasi cinta ketuhanan yang feminin itu, bukan berdasarkan diktum-diktum harafiah agama, apalagi fiqh. Rasio dan nalar yang sehat adalah panduan utama dalam pengelolaan ruang publik ini. Saya tak tahu, siapa model yang baik dalam hal ini dalam sejarah Islam.

Dalam wawasan seperti ini, "ke-kaffah-an" Islam hanya dikembangkan dalam kehidupan pribadi. Dalam sistem sosial, tak ada suatu sistem yang "kaffah". Sistem sosial yang "kaffah" adalah sistem yang totaliter dan tidak bisa dibatalkan oleh konsensus. Sistem yang tak bisa dibatalkan oleh konsensus dan voting, tidak layak dijadikan sebagai landasan pengelolaan kehidupan ramai. Sistem sosial (sebaiknya atau seharusnya) selalu bersifat provisionaris, alias sementara, bukan "kaffah", alias sudah final dan abadi.

A. Rumadi, IAIN Jakarta. Soal agama "kaffah," menurut saya, argumentasi konvensional sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Pemahaman Islam sebagai agama yang "serba meliputi," menyeluruh dan seterusnya merupakan akal- akalan "misionaris" Islam untuk menyedot "pendukung." Ke-kaffah-an seolah identik dengan jaminan keselamatan seseorang hanya dengan memeluk agama itu dan cukup dengan mengucapkan "syahadat."

Di luar itu, saya kadang berpikir apakah orang beragama itu memang harus full time. Tidak bolehkah beragama secara part time. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi harus "beragama," sampai mau ke toilet pun harus "beragama." Ke-kaffah-an Islam sering kali juga di ukur dari hal-hal seperti ini. Rasanya enak sekali kalau beragama bisa part time.

A. Bakir Ihsan, IAIN Jakarta. Istilah kaffah sebenarnya multitafsir. Kaffah menurut mazhab Taliban tentu berbeda dengan kaffah menurut Ulil. Persoalannya hanya pada otoritas. Ketika Ulil melontarkan persoalan kaffah di forum ini, banyak yang menanggapinya seakan-akan itulah kaffah yang sebenarnya, atau kaffah-nya Ulil salah dan harus diserang karena akan memiliki efek lanjutan. Padahal masing-masing kita memiliki otoritas yang sama untuk menafsirkan kaffah.

Kata kaffah sendiri bukan sebuah istilah final untuk menentukan benar atau salah, sempurna atau tidaknya tingkat keberagamaan seseorang. Manusia ini sekedar penafsir terhadap simbol ketuhanan dan keberagamaan. Dalam proses penafsiran, terkandung relativitas yang tinggi. Yang benar-benar kaffah hanyalah Tuhan. Muhammad sendiri sebagai penyebar Islam tidak kaffah dalam arti sempurna seratus persen.

Kaffah bagi mazhab Taliban adalah meniru sepenuhnya masa Nabi. Mereka berusaha memindahkan masa silam pada masa kini; memelihara jenggot, pakai sorban, perempuan pakai cadar dan sebagainya. Jenggot, sorban, cadar bagi mereka adalah bagian dari keislaman mereka. Sayangnya mereka tidak berperang pakai pedang dan naik onta saat melawan Amerika, seperti pada masa Nabi. Tetapi inilah kekaffahan yang mereka yakini.

Saya setuju dengan Ulil bahwa doktrin keagamaan mazhab Taliban memiliki pijakan yang kuat dalam literatur Islam. Tapi ini bukan persoalan krusial, dan pijakan ini bukan satu-satunya milik mereka. Karena Ulil sendiri, dan mungkin teman-teman yang lain, memiliki alasan yang sama kuatnya untuk mempertahankan pandangannya tentang keberagamaan yang kaffah.

Arsuka, Nirwan Ahmad, Bentara Jakarta. Provokasi Ulil di debat ini ada adalah provokasi seorang realis, seorang intelektual tulen yang melihat dengan dingin kenyataan yang berlangsung. Ajakannya untuk tidak berislam secara kaffah adalah ajakan yang sangat bernilai. Ajakan Ulil itu, seperti dikarikaturkan oleh Bimo Ario Tejo, memang bisa diplintir menjadi dalih bagi oportunisme, bagi kepengecutan dan kemunafikan. Tapi ajakan itu juga bisa dilihat sebagai kesimpulan dari seorang intelektual muslim yang sadar akan batas-batas: sebuah ajakan yang lahir dari sikap tahu diri dan rendah hati.

Ngotot berislam secara kaffah itu secara karikatural mirip dengan ngotot menjadi prajurit TNI secara kaffah. Makhluk angker seperti ini selalu menjadi tentara bukan hanya di barak atau di medan perang, tapi juga menjadi tentara di bis kota, di masjid, di arena joget dangdut, di lapangan pertunjukan wayang, di antrean loket kereta, di pasar-pasar, di mana saja dan kapan saja. Akibatnya adalah jika ia masuk pasar ia cenderung bicara setengah membentak sebagai cara untuk menawar harga kain seragam, jika ia jum'atan orang-orang minggir memberinya jalan ke saf terdepan, jika naik metromini ia tak merasa perlu bayar ongkos dan kondektur segan menagihnya, jika ia kesenggol di arena joget dangdut ia bisa langsung menarik pistol dan mengajak rekan-rekannya menyerbu arena itu.

Sudah tentu, karikatur “kaffah” ini bukanlah hal yang kita kehendaki pada Islam. Mungkin perlu merumuskan pengertian kaffah yang lain, yang lebih tepat untuk keadaan kita saat ini.
JIL-Ulil Abshar-Abdalla : Saya Ingin Meniru Al-Tahtawi

Selama tiga bulan Ulil Abshar-Abdalla, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kontroversial, menghilang dari hiruk pikuk Indonesia. Sampai kemudian dia mudik lagi setelah mendapat kabar bahwa Ayahandanya, KH. Abdullah Rifa’i meninggal, di pertengahan Desember lalu. “Padahal saya masih ingin berlama-lama di sini sampai buku saya selesai,” kata Ulil yang pernah mendapat fatwa mati dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) ini. Ia mendapat undangan dari University of Michigan untuk menjadi guest lecturer dengan memberi mata kuliah tentang “Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia” selama setengah bulan di universitas yang terletak di kota Ann Arbor ini. Selain Ulil, tahun-tahun sebelumnya yang pernah mendapat undangan serupa adalah Dr. Nurcholish Madjid dan Goenawan Mohamad.

Setelah mengajar selesai, Ulil kemudian menetap di Athens, negara bagian Ohio, tepatnya di Ohio University. Ulil ingin merealisasikan obsesinya selama ini: menulis buku. Buku ini merupakan penafsiran dia secara utuh tentang Alqur’an dan ajaran Islam secara umum dari perspektif Islam liberal. Dalam wawancaranya dengan Hamid Basyaib dari Jaringan Islam Liberal, Kamis 8 Januari 2003 lalu, dia berharap, buku ini bisa menjelaskan secara utuh pemikiran–pemikirannya yang selama ini dianggap kontroversial. Menurutnya, selama ini bukunya yang sudah terbit hanya berasal dari artikel-artikel lepas saja. Berikut petikannya:

HAMID BASYAIB (HAMID): Bung Ulil, saya ingin tahu, bagaimana respon mahasiswa ketika Anda mengajar?

ULIL ABSHAR-ABDALLA (ULIL): Responnya cukup bagus. Kita tahu, di Amerika saat ini perbincangan atau pembicaraan soal Islam sangat menarik. Bisa disebut seksi lah. Di mana-mana orang selalu bertanya mengenai Islam. Dan harap diketahui, bahwa Michigan University ini adalah tempatnya orang-orang yang anti George W. Bush atau pendukung Partai Demokrat. Kumpulan orang-orang yang visinya progresif-kiri, anti perang Irak, kebanyakan orang-orang kritis dan punya simpati besar terhadap Islam.

HAMID: Ketika Anda mengajar, pertanyaan apa sih yang paling sering dilontarkan kepada Anda sebagai orang Islam dan pemikir dari sebuah negara Islam terbesar di dunia yang akhir-akhir ini cukup kontroversial?

ULIL: Sebelumnya ada dua hal yang mengesankan bagi saya selama mengajar di sana. Pertama, semua orang yang mengikuti kuliah saya, tampaknya secara psikologis sudah siap menerima wejangan saya. Mereka sudah mempunyai mindset bahwa Islam tampaknya disalahpahami di Amerika. Mereka paham akan hal itu. Jadi, mereka harus belajar dari orang Islam sendiri. Lebih spesifik lagi, mereka ingin mendengar Islam versi Asia Tenggara, lebih khusus versi Indonesia. Jadi, mereka datang dengan simpati yang besar, dengan persepsi bahwa Islam adalah agama yang dizalimi publik Amerika, sehingga mereka perlu mengundang saya untuk memberi informasi first hand kepada publik di sana.

Kedua, ada beberapa orang yang tidak mengerti mengapa terjadi radikalisme dalam Islam. Pertanyaan ini pernah diangkat Farid Zakaria (kolomnis senior majalah Newsweek-red) dalam edisi khusus Newsweek yang berjudul: Why do they hate us? Kenapa mereka (orang Islam) membenci kami (orang Amerika)? Ada pertanyaan mengenai hal itu. Dan menjawab pertanyaan semacam itu tidaklah mudah.

HAMID: Tadi Anda menyebut mereka ingin tahu Islam versi Asia Tenggara atau lebih khusus lagi Indonesia. Apakah mereka sudah cukup tahu tentang Islam Arab atau versi Timur Tengah?

ULIL: Harus diketahui, bahwa exposure atau informasi mengenai Islam di luar kawasan Arab itu sangat kecil. Salah satu sebabnya adalah karena populasi orang Islam dari Arab di Amerika besar sekali. Masjid pertama kali yang didirikan di Amerika pada akhir abad ke-19, di daerah Iowa didirikan oleh orang Siria. Dan memang, di negara bagian Michigan ada satu kota kecil bernama Dearbon, yang menjadi pusatnya orang Arab di sana. Dan di sana ada masjid besar. Michigan dikenal sebagai negara bagian yang mempunyai populasi orang Islam paling besar di Amerika. Sehingga perjumpaan orang Amerika dengan orang Islam di sana lebih banyak diwakili orang Arab. Hal itu sudah terjadi selama dua abad.

HAMID: Selain mengajar, saya dengar Anda juga menulis buku. Betulkah?

ULIL: Betul. Sebenarnya konsentrasi saya di sana adalah riset, membaca, dan menulis sebuah buku yang sedang saya siapkan. Semoga selesai dalam waktu dekat. Bagi saya, tidak ada sesuatu yang indah dalam kehidupan ini kecuali membaca, menulis, dan riset dengan bahan yang cukup. Saya tidak tahu kapan negeri ini bisa memenuhi itu semua. Perpustakaan di perguruan tinggi Amerika itu luar biasa.

HAMID: Buku apa yang Anda tulis?

ULIL: Saya menulis semacam metode penafsiran ala Islam liberal. Lebih spesifik penafsiran tentang Alqur’an. Tentu bahan-bahanya tidak semua ada, tapi sebagian yang saya butuhkan bisa tercukupi. Yang paling menyenangkan di sana adalah suasana keilmuan yang sangat kondusif.

HAMID: Apakah Anda tidak kesulitan menulis di Michigan dan Ohio, sebab ahli Islam tidak banyak, bahkan tidak ada. Padahal Anda kan membutuhkan counter part untuk kepentingan penulisan buku ini?

ULIL: Memang, itu yang tidak saya temukan di sana. Tapi ada seorang ahli perbandingan agama, hanya saja fokus studinya bukan tentang Islam, tapi tentang Hindu. Karena saya merasa counter part itu banyak saya temui di Indonesia. Di sana, saya kan menemukan dan Cuma butuh tempat yang enak untuk menulis dan membaca saja. Sekarang buku itu sudah selesai sekitar enam puluh persen.

HAMID: Selama ini Anda kan dikenal sebagai pemikir Islam yang sangat kontroversial, sampai-sampai difatwa mati. Apakah proyek buku itu menjadi kelanjutan pemikiran Anda secara utuh?

ULIL: Inginnya sih begitu. Tapi kalau sekarang saya buka seluruh isinya, tentu akan membuat buku itu tidak menarik lagi. Tidak surprise. Tapi secara umum, salah satu aspek yang ingin saya tunjukkan kepada pembaca adalah bahwa Alqur’an sebagai kitab suci, hanya salah satu kitab suci saja. Bukan satu-satunya kitab suci di dunia ini. Itu saya kira aspek yang dilupakan oleh banyak orang; bahwa Alqur’an adalah scripture among sciptures, dia adalah kitab suci di antara kitab suci yang banyak. Dan wahyu yang dibukukan dalam Alqur’an sebenarnya adalah revelation among revelations, wahyu di antara wahyu yang lain. Dan orang Islam saya kira layak untuk belajar jenis-jenis wahyu yang lain.

HAMID: Maksudnya?

ULIL: Menurut saya, hampir semua kitab suci itu bermuatan mukjizat. Selama ini orang Islam hanya menganggap bahwa mukjizat terbatas pada Alqur’an saja. Saya tentu sangat percaya bahwa Alqur’an adalah mukjizat dan hebat. Tapi bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. Setelah saya membaca studi perbandingan mengenai kitab suci yang lain, saya menemukan bahwa hampir semua kitab suci adalah indah, mukjizat dan mengagumkan. Bagi saya, orang Islam perlu meletakkan kitab sucinya dalam kerangka mukjizat yang luas ini.

HAMID: Lantas bagaimana dengan klaim tentang keaslian kitab suci Alqur’an yang hanya terbatas pada Alqur’an saja?

ULIL: Kita harus meninjau ulang konsep atau gagasan tentang keaslian kitab suci. Bagi saya, semua kitab suci adalah asli. Tapi harus diingat bahwa kitab suci itu tumbuh seperti tanaman. Artinya, tidak ada kitab suci yang lahir ke dunia langsung menjadi besar, sebesar tanaman seumur 50 tahun. Kitab suci itu seperti manusia; dia mengalami fase bayi, remaja, dewasa, dan tua. Saya tidak menjumpai sejarah manusia yang langsung jadi. Ketika kita melihat Alqur’an, Taurat, Veda, Injil, dan Upanishad, semua itu adalah kitab suci yang tumbuh. Kalau kita sebut asli bagaimana? Semua kitab suci adalah asli; semua kitab suci adalah sesuai dengan ajaran agamanya, tapi dia berubah atau tumbuh sesuai dengan tahap-tahap yang dia lalui.

Memang ada pandangan dalam kalangan Islam bahwa kitab-kitab suci di luar Islam itu diselewengkan. Tapi kita harus menelaah kembali apa yang dimaksud oleh Alqur’an dengan ungkapan “diselewengkan” itu. Apakah diselewengkan isinya atau intinya, atau diselewengkan pada tingkat pelaksanaannya. Kalau dalam tingkat pelaksanaanya, Alqur’an pun diselewengkan.

HAMID: Atau dalam istilah Alqur’annya tahrîf.

ULIL: Ya, istilahnya tahrîf. Saya kira terlalu teknis kalau saya bicarakan hal ini terlalu mendalam. Tapi intinya, saya kira banyak orang Islam yang salah memahami makna tahrîf itu. Mereka percaya, seoalah-olah proses turunnya kitab Injil dan Taurat itu sama dengan Alqur’an; melalui proses pewahyuan kepada nabi dan dicatat. Injil bukan begitu proses turunnya. Sebab, Nabi Isa tidak pernah menerima wahyu seperti Nabi Muhammad menerimanya. Jadi konsep wahyu dalam Injil itu berbeda dengan dalam Alqur’an.

Yang ingin saya tekankan dalam buku saya nanti adalah, seyogyanya orang Islam memahami konsep pewahyuan itu dalam konteks yang berbeda-beda. Pewahyuan ala Islam, pewahyuan ala Kristen, ala Yahudi, dan lain-lain. Itu semua pewahyuan, tapi berbeda konteksnya, dan dinilai berdasarkan penilaiannya sendiri-sendiri. Jadi jangan sampai menilai kriteria wahyu di luar Islam berdasarkan kriteria Islam. Itu tidak fair.

HAMID: Menurut Anda, bagaimana memahami konsep wahyu dalam agama Kristen misalnya?

ULIL: Saya tidak ingin masuk dalam detail-detail agama Kristen. Tapi intinya, banyak hal yang indah, baik, dan mengagumkan yang saya temui dalam semua kitab suci. Saya membaca Injil dan menikmati sekali. Saya menyukai beberapa bagian dalam Perjanjian Baru seperti khotbah di atas bukit. Dalam Perjanjian Lama, pasti semua orang menyukai kidung agung the song of Solomon; kisah cinta dalam bentuk yang lembut, subtil, dan indah sekali. Intinya, semua kitab suci itu mukjizat dari berbagai seginya.

Misalnya lagi, kehebatan kitab-kitab suci di luar Alqur’an seperti Veda, salah satu kitab suci yang paling tua dari India. Inilah kitab yang selama ribuan tahun tidak pernah ditulis; sebuah kitab suci yang proses transmisinya dari satu generasi ke genarasi yang lain melalui kisah. Istilahnya, dalam studi-studi kitab suci melalui suara. Jadi ini kitab suci yang auditif, dikisahkan secara oral, dari satu generasi ke genarsi berikutnya. Kitab ini baru ditulis pada abad XIX oleh sarjana Eropa bernama Friedrich Max Muller, bukan oleh orang India sendiri. Dia yang menulis dan mengodifikasi kitab Veda. Yang mengherankan, selama ribuan tahun kitab ini tidak pernah ditulis tapi tetap terjaga. Dan tidak hilang. Banyak hal dalam tradisi oral yang hilang, tapi Veda tidak hilang.

Jadi menurut saya, ayat dalam Alqur’an yang berbunyi, innâ nahnu nazzalnâ al-dzikrâ wa innnâ lahû lahâfidzûn (Aku menurunkan Alqur’an dan Aku juga yang akan menjaganya) itu berlaku untuk semua kitab suci. Berlaku buat Injil, juga Upanishad. Kalau Anda beragama Hindu dan termasuk deretan pengagum Mahatma Gandhi, Anda bisa membaca buku yang dia tulis mengenai Tuhan. Hal ini menarik, karena Gandhi mengemukakan wawasan ketuhanan yang sifatnya universal. Semua agama sama; kitab suci semua hebat. Gandhi mengapresiasi Alqur’an, Injil, Taurat, dan seterusnya.

HAMID: Mungkin kalau banyak orang yang menghormati perbedaan agama secara proporsional, dunia ini akan damai, ya?

ULIL: Yang ideal, kita akan menjumpai situasi yang menyerupai free market of ideas atau free market of scriptures, of revelations, of religions. Pasar bebas kitab-kitab suci.

HAMID: Apa yang mau Anda simpulkan dari kunjungan ke Amerika kemarin?

ULIL: Terus terang, saya ingin meniru Rifa’ah Rafi’Al-Tahtawi, seorang ulama Mesir yang dikirim ke Perancis pada abad ke-19 oleh pemerintah Mesir untuk menjadi pemimpin mahasiswa Mesir yang sekolah di Perancis. Dia menulis kesannya mengenai kota Paris khususnya, dalam kitabnya yang terkenal Tahlîsul Ibrîs fi Talkhîsil Bâris. Kesimpulannya kira-kira, banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari orang lain, siapapun mereka. Dalam kehidupan orang Amerika, saya menemukan banyak hal yang menurut standar Islam akan sangat Islam sekali, sekalipun banyak juga hal lain yang menjauhi nilai islam. Tapi kalau ditotal, yang sesaui dengan nilai-nilai Islam lebih banyak ketimbang yang tidak sesuai.. JES -+- US

Islam Liberal atau JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh itu setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang mereka sebut pembaharu atau modernis, kini melangkah lagi dengan kemasan barunya, JIL.

Mula-mula yang mereka tempuh adalah mengacaukan istilah. Mendiang Dr Harun Nasution direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa'at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang menghalalkan dansa-dansi laki perempuan campur aduk) oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad.

Hingga posisi penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau modernis (padahal penyeleweng agama).

Akibatnya, dikesankanlah bahwa posisi Rifa'at At-Thahthawi itu sejajar dengan Muhammad bin Abdul Wahab pemurni ajaran Islam di Saudi Arabia. Padahal hakekatnya adalah dua sosok yang berlawanan. Yang satu mengotori pemahaman Islam, yang satunya memurnikan pemahaman Islam. Pemutar balikan fakta dan istilah itu disebarkan Harun Nasution secara resmi di IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia lewat buku-bukunya, di antaranya yang berjudud Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, terbit sejak 1975.

Pengacauan istilah itu dilanjutkan pula oleh tokoh utama JIL yakni Nurcholish Madjid. Dia menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok penentang dan penolak syari'at Islam di Jawa yang memakai cara: Mengembalikan istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya.

Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya itu dijadikan hujjah/ argument untuk menolak syari'at Islam.

Coba kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam dikembalikan kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah agama (tidak punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari pemaknaan yang semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari'at Islam dalam kehidupan.

Kalau dicari bedanya, maka Darmogandul dan Gatoloco menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya. Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan Islam, sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara menolak Syari'at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya, tapi caranya sama.

Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan tulisan Nurcholish Madjid sebagai berikut:

Kutipan:
"…sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama." (Artikel Nurcholish Madjid).

Tanggapan:
Kalau Gatoloco menolak syari'at dengan cara mengkambing hitamkan kambing curian, maka sekarang generasi Islam Liberal menolak syari'ah dengan meganggap fiqh sudah kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama saja dengan Gatoloco dan Darmogandul itu tadi.

Tuduhan bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran yang sejati. Dalam kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai hukum Islam (sebut saja hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam itu tercakup dalam fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian waris, mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh sudah kehilangan relevansinya? Bahkan sampai di zaman modern sekarang ini pun, manusia yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu perinciannya ada di dalam ilmu fiqh.

Seorang ahli tafsir, Muhammad Ali As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum, Rowaai'ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung dari Al-Qur'an saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada kitab-kitab fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup hanya dari tafsir ayat ahkam itu.
Faham JIL

Secara mudahnya, JIL itu menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama.

Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita tidak boleh memandang agama orang lain dengan memakai agama yang kita peluk. (Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya). Jadi faham yang disebarkan oleh JIL itu adalah agama syetan, yaitu menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid.

Tampaknya orang-orang yang pikirannya kacau dan membuat kekacauan agama seperti itu adalah yang telah merasakan celupan dari pendeta, atau Yahudi, atau Barat, atau yang dari awalnya bergaul di lingkungan faham sesat Ahmadiyah dan sebagainya atau di lingkungan ahli bid'ah.

Berikut ini contoh nyata, Ahmad Wahib yang mengaku sekian tahun diasuh oleh pendeta dan Romo. Kemudian fahamnya yang memurtadkan pun disebarkan oleh Johan Effendi, tokoh JIL yang jelas-jelas anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah. Di antara fahamnya sebagai berikut:

Ahmad Wahib Menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai Dasar Islam

Setelah Ahmad Wahib berbicara tentang Allah dan Rasul-Nya dengan dugaan dugaan, "menurut saya" atau "saya pikir", tanpa dilandasi dalil sama sekali, lalu di bagian lain, dalam Catatan Harian Ahmad Wahib ia mencoba menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai dasar Islam. Dia ungkapkan sebagai berikut:

Kutipan:
" Menurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur'an dan Hadits melainkan Sejarah Muhammad. Bunyi Qur'an dan Hadits adalah sebagian dari sumber sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya." (Catatan Harian Ahmad Wahib, hal 110, tertanggal 17 April 1970).

Tanggapan:
Ungkapan tersebut mengandung pernyataan yang aneka macam.

Menduga-duga bahwa bahan-bahan dasar ajaran Islam bukanlah Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Ini menafikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar Islam.

Al-Qur'an dan Hadits adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri. Ini mengandung makna yang rancu, bisa difahami bahwa itu kata-kata Muhammad belaka. Ini berbahaya dan menyesatkan. Karena Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah SWT yang dibawa oleh Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih. Jadi Al-Qur'an itu Kalamullah, perkataan Allah, bukan sekadar kata-kata yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti yang dituduhkan Ahmad Wahib.

Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu:
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (QS Al-Baqarah: 23).

Al-Qur'an dan Hadits dia anggap hanya sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi hanya bagian dari sumber ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Ini akal-akalan Ahmad Wahib ataupun Djohan Effendi, tanpa berlandaskan dalil.

Al-Qur'an dan Hadits disejajarkan dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan lain-lain yang nilainya hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. Ini menganggap Kalamullah dan wahyu senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan sebagainya. Benar-benar pemikiran yang tak bisa membedakan mana emas dan mana tembaga. Siapapun tidak akan menilai berdosa apabila melanggar adat Arab.

Tetapi siapapun yang konsekuen dengan Islam pasti akan menilai berdosa apabila melanggar Al-Qur'an dan AAs-Sunnah. Jadi tulisan Ahmad Wahib yang disunting Djohan Effendi iitu jjelas mmerusak pemahaman Islam dari akarnya. Ini sangat berbahaya, karena landasan Islam yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah/ Hadits telah dianggap bukan landasan Islam, dan hanya setingkat dengan adat Arab. Mau ke mana arah pemikiran duga-duga tapi sangat merusak Islam semacam ini?

Pandangan-pandangan berbahaya semacam itulah yang diangkat-angkat orang pluralis (menganggap semua agama itu paralel, sama, sejalan menuju keselamatan, dan kita tidak boleh melihat agama orang lain pakai agama yang kita peluk) yang belakangan menamakan diri sebagai Islam Liberal.
Tokoh-tokoh Islam Liberal

Siapa sajakah yang mereka daftar sebagai Islam Liberal?
Dalam internet milik mereka, ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut:
"Beberapa nama kontributor JIL (Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:
Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Charles Kurzman, University of North Carolina.
Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
Edward Said
Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
Asghar Ali Engineer.
Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok -Jakarta.
Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.

Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut "Jaringan Islam Liberal" (JIL).
Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah.

Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dua Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/ paralel, dan kita tak boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih dikritik oleh orang pluralis.

Itulah pemurtadan lewat jalur yang menggunakan nama Islam dan orang-orang yang mengaku dirinya Muslim.
Menghadapi Islam Liberal

Untuk menghadapi pemurtadan yang diusung Islam Liberal itu sudah ada tuntunan dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Di antaranya ayat:
"Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS Al-Kaafiruun/ 109: 6). [/color]

Ibrahim Al-Khalil dan para pengikutnya berkata kepada kaumnya, orang-orang musyrikin:

"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (Al-Mumtahanah/ 60: 4) (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Darul Fikr, Beirut, hal 509).

Dalam hadits ditegaskan:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka." (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii'in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Faham inklusifisme dan pluralisme agama yang diusung oleh JIL jelas bertentangan dengan firman Allah SWT dan sabda Nabi saw. Berarti faham JIL itu adalah untuk merobohkan ayat dan hadits, maka wajib diperangi secara ramai-ramai. Kalau tidak maka akan memurtadkan kita, anak-anak kita, dan bahkan cucu-cicit kita.

Tulisan Adnin Armas (Orientalisme dan Teori Pengaruh' Terhadap Islam; Republika, Kamis, 6 Mei 2004) dan tulisan Pradana Boy ZTF (Bersikap Adil Terhadap Peradaban; Republika, Selasa, 11 Mei 2004) pada intinya sama: mengajak kaum Muslim untuk bersikap kritis terhadap orientalis, Barat, dan tidak bersikap apriori dalam menyikapi pemikiran asing.

Sebenarnya, saya yakin, Adnin Armas tidak mempunyai sikap apriori terhadap Barat seperti yang tersirat dalam tanggapan Pradana. Sebab Adnin Armas lulus program master di ISTAC-IIUM, di bawah bimbingan seorang orientalis, Prof Paul Letink, pakar fisika nuklir dan filsafat/sains Islam. Ia juga sempat belajar bahasa Latin dan Greek beberapa tahun. Guru Letink, Hans Deiber, pakar sejarah filsafat Islam, juga pernah mengajar Adnin di ISTAC. Meskipun dikenal sebagai profesor yang otoritatif di bidang sejarah filsafat Islam, Deiber misalnya, tetap juga berpegang pada pendapatnya, bahwa al-Quran ditulis oleh Muhammad. Namun di ISTAC para orientalis tidak hanya diminta mengajar bidangnya tapi juga diminta meluruskan pemikirannya tentang Islam yang salah.

Pendiri ISTAC, Prof Naquib al-Attas, pernah menegur Deiber, bahwa di ISTAC dia tidak mengajar Islam, ia hanya diminta mengajar sejarah filsafat Islam dalam kaitannya dengan kebangkitan Barat. Demikian pula Paul Letink. Sebab, kata al-Attas, pakar-pakar Muslim lebih tahu tentang Islam. Jadi, sikap tidak apriori terhadap Barat justru diajarkan di ISTAC, tapi sekaligus diajarkan sikap kritisnya.

Dalam kajian berbagai bidang keilmuan, termasuk bidang Islamic Studies, harus diakui, Barat/orientalis telah mencapai tahap perkembangan besar dengan segala motifnya, baik motif keilmuan, keagamaan, atau pun motif politik-ekonomi. Karena itulah, sikap kritis sangat diperlukan. Masalahnya adalah bagaimana dapat bersikap kritis? Apa metodologi dan bekal untuk bersikap kritis? Tanpa penguasaan yang baik terhadap kedua khazanah: Islam dan Barat, maka sulit diharapkan, akan muncul sikap kritis yang benar. Bisa-bisa yang terjadi sebaliknya: menyangka telah bersikap kritis, tetapi justru yang terjadi adalah mengkritisi Islam dengan cara pandang non-Muslim.

Al-Attas bahkan menyatakan bahwa sekarang ini kita tidak akan dapat mengetahui masalah yang dihadapi umat Islam jika tidak mengetahui perbedaan Islam dan Barat. Namun ia tidak berbicara Barat dalam pengertian politik. Apa yang ia tekankan adalah dalam aspek pemikiran atau secara umum aspek pandangan hidup. Terdapat perbedaan bahkan pertentangan permanen antara pandangan hidup Islam dan Barat. Oleh Sebab itu jika kita mempelajari pemikiran orang Barat, khususnya orientalis, kita perlu mengkaji pula pandangan hidup yang menjadi asumsi dasar pemikiran tersebut. Pandangan hidup yang dimaksud terdiri dari konsep Tuhan, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep kenabian, konsep alam, dan lain-lain.

Pada dasarnya, tidak ada perubahan yang signifikan dan substansial antara orientalis dulu dan sekarang. Malah, Shireen T Hunter, dalam satu tulisannya berjudul The Rise of Islamist Movements and The Western Rresponse: Clash of Civilizations or Clash of Interests? menyebut, ilmuwan kontemporer seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran "neo-orientalis" yang berbeda dengan aliran neo-third-world. Pola pikir "neo-orientalis" Lewis itulah yang mewarnai isi buku barunya, The Crisis of Islam, yang begitu banyak membela politik neo-konservatif AS.

Singkatnya, kajian-kajian keislaman para orientalis bagaimana pun ilmiahnya, ia tetap berpijak pada pre-supposisi Barat, dan terkadang Kristen. Prinsip dasar bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan al-Quran adalah firman Allah tidak menjadi asas bagi kajian mereka. Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui Islam sebagai agama terakhir. Mereka tidak mungkin pula mengakui al-Quran sebagai firman Allah. Sebab al-Quran memuat banyak kecaman terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani, seperti: "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam"(al-Maidah 5: 17; dan juga 5: 72); "Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga" (al-Maidah (5: 73); "Dan karena ucapan mereka sesungguhnya kami telah membunuh Isa al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (al-Nisa 4: 157); dan berbagai ayat lainnya.

Kandungan al-Quran yang mengecam ajaran Yahudi dan Kristen seperti itu jelas akan menuai reaksi balik sepanjang masa. Seorang Kaisar Bizantin, Leo III (717-741 M), misalnya, telah menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M) telah mengubah al-Quran (Arthur Jeffery, "Ghevond's Text of the Correspondence between Umar II and Leo III, Harvard Theological Review, 269-332).

Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 menyebut Rasululllah SAW sebagai nabi palsu. Yahya al-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam mengajarkan anti-Kristus. John of Damascus berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh. Dengan liciknya, katanya, Muhammad bisa mengawini Khadijah sehingga mendapat kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya, Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad memiliki hobi perang karena nafsu seksnya tidak tersalurkan. (Daniel J Sahas, John of Damascus on Islam: "The Heresy of the Ishmaelites", Leiden: E. J. Brill, 1972, hlm. 67-95).

Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert). Bede menggambarkan Muhammad sebagai kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang nabi.

Sikap menghina Rasulullah SAW berlanjut pada zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah SAW disebut sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam bahasa Prancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan, berhala. Jadi, Muhammad bukan sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, ia merupakan seorang penyembah berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh.

Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, image buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Quran sebagai karya setan. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang jahat dan mengutuknya sebagai anak setan. Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstremis, dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah SAW beserta al-Quran terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang di atas kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada (in our skeptical times there is very little that is above criticism, and one day or other we may expect to hear that Muhammad never existed).

Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buat-buatan. Muhammad adalah fiksi yang wajib karena selalu adanya asumsi bahwa setiap agama harus mepunyai pendiri. Sikap para orientalis seperti itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.

Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, level, cara dan strategi yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan kebenaran al-Quran. Penolakan seperti itu adalah loci communes (common places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah SAW dan al-Quran tidak dibangun dari keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.

Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam sejak DB MacDonald, Alfred Gullimaune, Montgomery Watt, atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry A Wolfson, Shlomo Pines, dan lain-lain mempunyai framework yang hampir sama. Di antara asumsi yang umum mereka pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains, dan hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah "carbon copy" dari pemikiran Yunani. Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam.

Sikap simpatik para orientalis terhadap Islam tidak serta merta menjadikan pemikiran mereka menjadi benar. Sebab, asumsi dan juga konsekuensi dari framework di atas adalah pengingkaran terhadap tradisi intelektual Islam yang berbasis pada wahyu. Transmisi ilmu pengetahuan melalui sumber yang disebut kabar mutawatir tidak diakui oleh mereka sebagai valid.

Jadi, sekalipun pengetahuan mereka tentang sejarah pemikiran keislaman mendalam, namun kajian mereka tetap fragmentatif. Mereka tidak menghubungkan kajian mereka tentang Islam yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal. Kajian mereka tentang hal-hal yang spesifik seperti tentang sejarah al-Quran, etika dalam Islam, politik dalam Islam, dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri. Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman, misalnya, tidak tecermin dalam tulisan-tulisan mereka. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki tidak mendorong pembacanya untuk beriman kepada Allah SWT. Tidak juga membuat mereka sendiri yakin dengan kebenaran Islam. Dan yang jelas mereka tidak bisa disebut sebagai ulama.

Sebagai penutup perlu dicatat bahwa Islam adalah agama dan pandangan hidup yang telah melahirkan peradaban yang gemilang. Untuk mempertahankan dan mengembangan peradaban Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur peradaban asing. Sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala macam unsur dari peradaban lain tanpa proses adaptasi.

Jika dicermati secara seksama, semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “klaim kebenaran” (truth-claim)nya, baik secara explisit ataupun implisit. Masalah apakah klaim-klaim kebenaran ini valid atau tidak, rasional atau irasional, that’s another issue. Dengan kata lain, tidak ada agama yang tidak membuat klaim kebe¬naran. Hanya saja terdapat perbedaan di antara agama-agama dalam memandang klaim kebenaran ini, antara lain:

Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan alternatif lain apapun. Ia tidak mem¬berikan konsesi sedikitpun dan tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia terrepre¬sentasikan secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang mana masing-masing saling meng¬klaim diri yang paling benar.

Dan klaim eksklu¬sivitas dan absolutisme kebe¬naran ini kemudian ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” (juridical concept of salvation), di mana masing-masing agama tersebut meng¬klaim diri sebagai satu-satunya “ruang” soteriologis (soterio¬logical space) yang hanya di dalamnya, atau “jalan” soterio¬logis (soteriological way) yang hanya melaluinya, manusia dapat mendapatkan kesela¬matan (salvation) atau kebe¬basan (liberation) atau pencerahan (enlightenment) – suatu hal yang semakin menambah mantap dan kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut.

Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan (original sin); sementara Islam dengan statemen Allah SWT dalam al-Qur’an: “Innad-dina ‘indallahi al-islam” (Ali Imran 19) dan hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (berislam) kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan: “wa man yabtaghi ghairal-islami dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa fil-akhirati minal-khasirin” (Ali Imran 85).

Inklusivisme, merupa¬kan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu fihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di pihak lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transfor¬masinya untuk men¬cakup seluruh pengikut agama lain. Inklusi¬vis¬me ini mendapat¬kan ekspresi¬¬nya yang begitu arti¬kulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “Anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.

Sejauh yang bisa dilacak, teologi inklusif ini secara artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang relatif belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada perte¬ngahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di lain pihak, terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah keting¬galan zaman.

Dengan kata lain inklusi¬visme ingin meng¬ambil sikap tengah-tengah, antara eksklu¬si¬visme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara dan mem¬per¬tahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement) yang dilaku¬kan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar dan seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement tersebut adalah dimak¬sud¬kan untuk menebus seluruh dosa warisan Adam, maka dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk ampu¬nan Tuhan, meski¬pun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia mati disalib, dan meski¬pun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan didekla¬rasikan dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.

Di lingkungan Islam, sebe¬tul¬nya juga ada upaya serupa. Paling tidak dalam konteks Islam Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan dari abad yang lalu, beberapa intelektual muslim kita mulai gemar mengusung jargon “Islam inklusif” dalam berbagai kesem¬patan. Namun setelah diteliti secara seksama, kandu¬ngan pemikiran yang mereka maksud¬kan ternyata lebih dekat, kalau tidak malah serupa, dengan model plura¬lisme yang akan dibentangkan berikut ini.

Pluralisme. Wacana ini muncul dan berkembang dalam konfigurasi dan setting sosial-politik tertentu, yakni huma¬nisme sekular Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal yang mana salah satu konstituen dan struktur utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sementara sosiolog diidenti¬fikasi sebagai civil religion).

Klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soterio¬logical spaces) yang di dalamnya, atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan keselamatan/kebebasan/pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semua¬nya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden.

Klaim pluralisme ini sangat “problematik” dan membawa implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan spiritual¬nya. Kenyataan ini pada akhirnya telah mengan¬tar¬kan gagasan pluralisme agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa men¬jawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah gagasan ini benar-benar mampu memberi¬kan solusi yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?

Maka tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pemahaman ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur paham ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilematis ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan pagan yang kanibalistik?

Dan di pihak lain, klaim ini telah melakukan pereduksian yang demikian dahsyat sehing¬ga mengkerangkeng agama hanya boleh berope¬rasi di wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private –hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan mem¬bentuk perilaku manusia baik dalam kehidupan individual maupun sosialnya atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya.

Di samping itu, terminologi “pluralisme” di Barat dewasa ini, artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya: perubahan, yang sangat fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan sebangun dengan “demo¬krasi”, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan (equality) dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara teoretis sangat aggun dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjuk¬kan perilaku sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus karakter dan HAM orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur dan referensi keaga¬maan dan intelektual mereka masing-masing.”3 Dengan kata lain, Barat tidak ingin “to let the others to be really other” (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri).
Islam dan Klaim Kebenaran Agama

Masalah hubungan Islam dengan agama-agama lain beserta klaim-klaim kebena¬ran¬nya secara teologis sudah selesai, settled, dan final. Allah sendiri yang telah menun¬tas¬kan masalah ini sejak awal lewat wahyu-Nya, Al-Qur’an. Oleh karenanya, tak selayak¬nya seorang Muslim meng¬ingkari hal ini, sebab Al-Qur’an adalah merupakan otoritas keagamaan yang tertinggi, di mana teks-teksnya tak pernah berubah (dan berkat jaminan Allah SWT, tak akan pernah berubah sampai Hari Kiamat), begitu juga gramatika bahasa Arabnya.

Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara teologis sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat di dalam pembahasan-pemba¬hasan fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi Islam.

Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial –dan oleh karena¬nya tidak hakiki atau tidak genuine. Perbedaan metodo¬logis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menetukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis– oleh karena¬nya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis.

Sebagaimana yang dite¬gas¬kan di atas, Islam meman¬dang perbedaan dan kera¬gaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis (haqiqah wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, dan oleh karenanya genuine. Termasuk di dalamnya adalah truth-claim (klaim kebenaran) yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali.

Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisi¬nya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, atau direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan.

Kesimpulannya, klaim kebenaran (truth-claim) bagi agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupa¬kan esensi jati-diri sebuah agama.

Menelusuri dan melacak lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Sebuah gagasan Protestanistik yang kini digandrungi sebagian kaum Muslimin

Proses liberalisasi sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.

Sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yurisdiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikasikan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan semua agama adalah musuh demokrasi, kemanusiaan, dan HAM.

Oleh karenanya agama harus mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman.

Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan "pluralisme politik". Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, "sama benarnya dan sama relatifnya". Orang menyebutnya sebagai "pluralisme agama".

Pluralisme, Gagasan Protestanistik Paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari liberalisme politik (political liberalism).

Jelas, faham liberalisme tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan ini masih terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.

Saat itu, hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Beberapa sekte Kristen masih mengalami perlakuan dikriminatif dari gereja. Hal itu misalnya dialami sekte Mormon, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodoks. Diskriminasi ini berlangsung sampai akhir abad kesembilan belas, ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland (1837-1908).

Ada pula doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan". Ini tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun 1960-an, yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen.

Jadi, gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal Protestantism. Pelopornya adalah Friedrich Schleiermacher.

Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Muncul tokoh gigih, seperti teolog Kristen liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul "Posisi Agama Kristen di antara Agama-agama Dunia" yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal.

Ada lagi William E Hocking. Gagasannya ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan Living Religions and A World Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global.

Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), dalam karyanya An Historian's Approach to Religion (1956) dan Cristianity and World Religions (1957). Juga teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku Towards A World Theology (1981), Smith mencoba meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth (1967).

Dua dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangan. Kemudian menjadi sebuah wacana pemikiran tersendiri pada dataran teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran, kalau bukan dampak dari (atau bahkan suatu proses sinergi) gagasan pluralisme agama ini.

Dalam kerangka teoritis, pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh beberapa teolog dan filosof agama modern. Konsepsinya lebih lihai, agar dapat diterima oleh kalangan antar agama. John Hick telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer.

Hick menuangkan pemikirannya dalam buku An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. Buku ini diangkat dari serial kuliahnya pada tahun 1986-1987, yang merupakan rangkuman dari karya-karya sebelumnya.

Ternyata, fenomena yang murni Protestanistik atau terjadi dalam kerangka gerakan reformasi Protestan secara khusus ini, masih mendominasi pemikiran orang-orang Protestan hingga akhir abad ke-19. Sedangkan Kristen Katolik cenderung tidak menerima gagasan pluralisme agama, dan tetap berpegang teguh pada doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan", hingga akhirnya Konsili Vatikan II berlangsung.
Wabah Pluralisme dalam Islam

Dalam wacana pemikiran Islam, wacana pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam.

Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia II. Yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.

Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam. Antara lain melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad).

Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religions, sangat sarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama.

Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi'ah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan "Islam tradisional". Suatu "prestasi" yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.

Nasr mencoba menuangkan tesisnya tentang pluralisme agama dalam kemasan sophia perennis atau perennial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau "kebenaran abadi"). Yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi di balik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam 'alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk atau meyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi.

Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada sombol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama tetap satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Suatu hal yang membuat kita bertanya-tanya, apakah tesis Nasr ini mempunyai justifikasi yang solid dalam tradisi pemikiran Islam yang diklaimnya sebagai basis dari bangunan pemikirannya?

Saat ini wacana pluralisme agama modern muncul dengan berbagai trend dan bentuknya. Ini menggambarkan sebuah fakta secara telanjang bahwa betapa dominan dan hegemoniknya Barat, baik dari segi politik, ekonomi, peradaban, maupun kultur. Sebuah fakta yang untuk menjamin eksistensi dan kelestariannya, meniscayakan adanya semacam ?legitimasi relijius?, atau apa yang disebut Peter L Berger sebagai sacred canopy (tirai suci). Dan itu harus sejalan dengan logika kemanusiaan modern yang berlandaskan pada asas toleransi dan kebebasan, atau lebih tepatnya, liberalisme.

Obsesi Barat ini kentara sekali dan sulit untuk ditutup-tutupi, sebagaimana nampak dari upaya-upaya serius yang dilakukannya untuk mensosialisasikan gagasan ini. Bahkan mereka tak segan melakukan tekanan politik, ekonomi, maupun militer terhadap negara-negara lain yang enggan menerapkan gagasan pluralisme. Semua harus mau bernaung di bawah jargon Tatanan Dunia Baru yang dicanangkan Amerika Serikat pada awal sembilan puluhan dari abad yang lalu.
Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini (bahkan di Jakarta mereka membentuk JIL = Jaringan Islam Liberal), sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal ketimbang perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamanya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan Liberal ala Barat (AS dan Eropa). Antek Yahudi dan Barat bentuk lainnya?

Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan: “ Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action .” (Leonard Binder, 1988) Fakta ini didukung oleh seorang lagi penulis dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Barton menggariskan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; (d) Pemisahan agama dari parti politik dan kedudukan negara yang nonsektarian. (Greg Barton, 1999)
Liberalisme dan ‘Fundamentalisme'

Sebagaimana watak pemikiran postmodernis yang selalu mengkaitkan permikiran dengan kekuasaan, gerakan Islam liberal nampaknya tidak jauh dari trend itu. Maka dari itu dalam pemikiran Islam liberal, politik adalah salah satu agenda terpenting. Terbukti ketika pemikiran Islam liberal memulai gerakannya apa yang menjadi concern utamanya adalah membendung kekuatan arus pemikiran yang dinamakan ‘fundamentalis'. Cara-cara gerakan ini menghadang kelompok ini lebih cenderung frontal dan konfrontatif daripada persuasive. Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, Arkoun, al-Jabiri, Abdullah al-Naim dll, muncul dengan ide-ide yang secara mencurigakan menyerang pemikiran mainstream ummat Islam . Pandangan-pandangan mereka terhadap kelompok salafi yang mereka anggap fundamentalis lebih keras daripada kritik mereka terhadap Barat. Juga karena ide pluralisme agama kritik mereka terhadap Islam dan ummat Islam lebih keras daripada kritik mereka terhadap agama lain. Gejala ini perlu dicermati dengan seksama.

Perkataan fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Curtis Lee Laws dengan merujuk kepada golongan Kristen, American Protestant , yang menentang modernisme dan liberalisme khususnya Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristian tersebut. Oleh karena itu, istilah fundamentalis ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militant. Maka perkataan tersebut membawa konotasi yang negatif, dan memberi makna yang mencemooh dan memojokkan.

Penggunaan Istilah tersebut dalam Islam muncul dan menjadi popular setelah terjadi revolusi Iran, yaitu sebutan yang merujuk kepada aktifis militan golongan Shi'ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat dan mempromosikan penentangan terhadap Barat dan kepentingan Barat. Bahkan kemudia fundamentalisme dikaitkan dengan aksi-aksi terrorisme. Menurut James Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenangnya oleh media Barat dan penulis-penulis Barat sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim tetapi juga golongan yang dinamakan reformis atau revivalis. (James Veitch, 1993)

Senada dengan James, Khurshid Ahmad menyangkal dimasukkanya gerakan revivalis kedalam kategori Fundamentalis, fanatik dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian. Beliau menjelaskan:

The West has failed to see the strength and potential of the Islamic movement. It has chosen to dub it as fundamentalist, as fanatic, as anti- Western, as anachronistic…Nothing could be farther from the truth. It appears that the West is once again committing the fatal mistake of looking upon others as belonging to a different paradigm, from the prism of its own distorted categories of thought and history. (Khurshid Ahmad. “The Nature of the Islamic Resurgence”, ed. John L. Esposito, Voices of Resuregent Islam , 225).

Richard Nixon Bekas presiden Amerika telah menulis sebuah buku yang berjudul Seize the Moment . Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar kebijaksanaan Luar negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima kreteria seorang fundamentalis Muslim. Pertama: Orang yang membenci Barat. Kedua: orang yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dan negara. Ketiga: orang yang ingin melaksanakan Syari'at Islam. Keempat: orang yang ingin membina kembali peradaban Islam. Kelima orang yang beranggapan bahwa penyelesaian bagi Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau (ajaran Islam yang benar).

Mafhum mukhalafah dari kriteria ini jelas bahwa orang yang tidak fundamentalis bagi Barat adalah orang Islam yang meninggalkan syariat Islam, tidak concern dengan masalah umat Islam, dan tidak bercita-cita membangun kembali kegemilangan Islam. Jadi sejatinya yang menjadi ancaman bagi Barat bukan Muslim “fundamentalis”, tapi kebangkitan Islam itu sendiri.
Sekularisasi dan Depolitisasi Islam

Di Barat, sekularisme, modernisme dan liberalisme berjalan seiring. Ketiga-tiga pemikiran ini adalah solusi bagi masyarakat Barat untuk maju dan modern. Itu disebabkan, mereka telah menderita akibat pemerintahan kuku besi Gereja yang telah membunuh sekitar 430.000 orang dan membakar hidup-hidup sekitar 32.000 orang atas alasan menentang kehendak tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus adalah diantara saintis-saintis yang malang karena melontarkan idea yang bertentangan dengan idea Gereja yang kononnya berasal daripada Tuhan.

Untuk melestarikan kekuasaannya, gereja membentuk satu institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia, yaitu Mahkamah Inkuisisi. Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World, (1991:456) menyatakan: “ Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century.” Despotisme Gereja ini mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Konflik tersebut berakhir dengan kemenangan bagi filsafat dan Sains.

Sudah menjadi sunnatullah aksi yang kuat akan menghasilkan reaksi yang kuat, setelah kekuasaan berada pada filsafat dan Sains, maka agama (Kristen) kemudian menjadi korban tekanan dan pembatasan. Pemikiran sekularisme, modernisme dan liberalisme ternyata adalah obat yang mujarrab yang telah berhasil membawa masyarakat Barat dari era kegelapan ( the dark age ) ke era kebangkitan ( renaissance ) dan kemajuan.

Persoalannya adalah apakah konsep-konsep sekularisme, modernisme, liberalisme dari Barat itu dapat dipakai untuk menyembuhkan penyakit umat Islam? Jawabnya tentu negatif, sebab penyakit yang diderita Umat Islam amat berbeda dari penyakit yang diderita masyarakat Barat. Umat Islam tidak pernah mengalami pemerintahan kuku besi yang dilakukan oleh ‘clergy'; ulama tidak pernah memerintah dan tidak berambisi memerintah. Sebab, Islam tidak mengenal “institusi gereja” yang mengaku mendapatkan mandat dari Tuhan untuk berkuasa.

Ternyata, konsep-konsep sekularisasi dan liberalisasi itu berdampak pada penelanjangan politik (depolitisasi) ummat Islam. Dan ini telah dilakukan sejak awal abad keduapuluhan yaitu bersamaan dengan kejatuhan Khilafah Uthmaniyyah (1924). Pada tahun tahun ini muncul beberapa tokoh kontroversi seperti Kamal Attaturk di Turki yang telah bertanggungjawab menghapuskan Khilafah Utmaniyyah dan menggantikannya dengan negara sekular. Secara intelektual, muncul nama ‘Ali ‘Abd al-Raziq di Mesir, seorang qadi Shar'i yang mendapat Ijazah doktor di London dengan bimbingan T.W. Arnold, seorang orientalis terkenal. ‘Ali ‘Abd al-Raziq mungkin sarjana Muslim yang pertama yang mendukung penghapusan Khilafah . Menurutnya, Islam dan Rasulullah SAW sendiri memisahkan antara agama dengan politik. Karena itu, sistem Khilafah adalah ciptaan manusia: pemerintah dan kerajaan pada masa itu yang menjustifikasikan pemerintahan mereka dengan memperalat agama (‘Ali Abdul Raziq, tt. Al-Islam wa Usul al-Hukm ). Sebaliknya Islam hendaknya hanya dilihat dari sisi kerohaniannya saja ( spirituality ) yang tidak memerlukan kekuasaan dan percaturan politik. (Buku ‘Ali Abdul Raziq mendapat tentangan yang hebat daripada kebanyakan ulama pada masa itu, berpuluh-puluh buku telah ditulis untuk menjawab buku tersebut diantaranya buku-buku yang ditulis oleh: Muhammad Bakhit al-Mutii, Muhammad Khadr Husayn, Diya al-Din al-Rayyis dan lain-lain).

Setelah ‘Ali ‘Abd al-Raziq, muncullah kemudian orang-orang yang lebih berani lagi mempersoalkan masalah-masalah pokok dalam Islam dengan kritikan terhadap ajaran Islam, institusi Ulama, dan Rasulullah SAW. Golongan ini di Mesir lebih dikenali dengan golongan al-‘almaniyyun (sekularis).

Ketika terjadi perdebatan tentang penegakan hukum Islam di negara-negara Islam kelompok Islam liberal adalah golongan yang paling lantang menentangnya. Faraj Fawdah, salah seorang dari mereka mengatakan bahwa “melaksanakan Shari‘at Islam adalah bermakna menegakkan negara theokrasi, negara yang diperintah oleh golongan agama ( rijal al-Din ) yang memerintah atas nama Tuhan”. Wahid Ra'fat menambahkan, orang-orang yang ingin menegakkan Shari‘at sebenarnya ingin menjadi golongan kahanah ( clergy ), institusi yang mewakili Tuhan dan berkuasa penuh menentukan kehidupan manusia, sebab mereka saja yang akan mempunyai hak untuk menafsirkan Shari‘ah. Muhammad Sa‘id al-‘Ashmawi menolak campurtangan Islam dalam politik, ini karena al-Qur'an tidak pernah membincangkan pemerintahan atau menjelaskan bentuknya. Ashmawi juga mengatakan bahwa orang Islam yang menyeru penegakan hukum Islam sebenarnya tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan hukum Islam. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan oleh Mawdudi adalah pentafsiran beliau sendiri terhadap agama dan Shari‘at, dan bukannnya Islam ataupun Shari‘at Islam. Sebab, menurut Engineer, tidak ada definisi yang disepakati apa yang dimaksudkan dengan Shari‘ah. Asghar berkesimpulan bahwa negara yang ingin ditubuhkan oleh Mawdudi adalah negara theokrasi dan authoritarian, dimana golongan agama akan memerintah dengan kuku besi (Untuk jawaban yang lebih terperinci terhadap kritikan Asghar ‘Ali Engineer dan Nasr Hamid Abu Zaid lihat Thesis Master penulis yang tidak diterbitkan bertajuk The Concept of al-Hakimiyyah (the Sovereignty of God ) in Contemporary Islamic Political Thought . ISTAC, UIAM, 2003) :

Mawlana Mawdudi tries to explain the necessity for an Islamic state. He says that according to the Qur'an God is the Master of the world..Mawdudi maintains that over His own creation, over His own world, no one else has any right to rule; it will be fundamentally wrong. …We have already seen that even on matters of Shari‘ah there is no unanimity of opinion. It would therefore be very difficult to maintain that this is the meaning of the Qur'anic injunction and hence the Islamic state law in its light has to be so framed. Then there are those Muslim thinkers like Mawlana Azad who feel, not without justification from the Qur'an itself, that the Shari‘ah is not an integral part of the religious faith i.e. Din. If it is so one can hardly maintain that the Islamic state has to be based on Shari‘ah and that God's rule means enforcing Islamic Shari‘ah as formulated in the early Islamic period. And this is exactly what Mawlana Mawdudi means when he talks of God's rule being established on earth. God's rule in that case would mean Islamic Shari‘ah as formulated by Imam Abu Hanifah and as interpreted by Mawdudi or his lieutenants. In fact Mawdudi's approach is so rigid and his attitude so authoritarian that any state founded on his ideas would be a medieval dictatorship. (Asghar Ali Engineer, The Islamic State, 134-135).

Tudingan-tudingan kaum liberal seperti itu bisa dipahami dalam perspektif, bahwa mereka memang menjadi kepanjangan tangan Barat untuk menjalankan agenda Barat terhadap dunia Islam. Sebab, bagi Barat yang imperialistik, Islam – aqidah dan syariahnya — dipandang sebagai ancaman. Jika aqidah dan syariah Islam tegak di muka bumi, maka ideologi, pemikiran, sistem hukum, dan dominasi ekonomi Barat, otomatis akan goncang. Karena itulah, Barat mau membangun pusat-pusat studi Islam yang canggih dan membiayai sarjana-sarjana Muslim menimba ilmu di sana. Barat juga bersemangat membiayai kelompok-kelompok liberal Islam, di mana pun berada. Untuk apa? Jelas niat utamanya adalah untuk mengokohkan hegemoni mereka. Namun, itu adalah urusan Barat. Yang lebih penting adalah bagaimana kaum Muslim memahami agenda-agenda Barat dan kaum liberal pro-Barat, agar tidak terkecoh dan terjebak oleh agenda-agenda imperialis itu. Biasanya, mereka pintar membuat jargon-jargon dan istilah-istilah yang indah, yang seolah-olah untuk memajukan Islam. Padahal, justru menikam dari dalam dan meruntuhkan bangunan Islam itu sendiri. Namun, kita tidak perlu apriori dengan Barat, tetapi harus lebih cerdik dan lebih pintar dari Barat. Berbagai kemajuan yang dicapai Barat perlu dipelajari dengan sikap kritis, tanpa perlu membebek terhadap ideologi dan cara berpikir yang materialistik, sekularistik, liberalistik, dan hedonistik. Wallahu a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar

Ethiopia

Seseorang yang menjadi sumber kekuatan terbesar adalah pula sumber kelemahan terbesar

Kumpulan Blog Indonesia

CopyMIX


ShoutMix chat widget

Music

Google Music Search

NapoleonHILL

Kebijakkan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap

  ©Template by ji_aray_ininnawa.