Kasus Bank Century mulai diangkat media massa secara besar-besaran ketika publik baru diberitahu bahwa telah terjadi pengucuran dana Rp 6.7 triliun dari LPS ke ‘bank pesakitan’ (Bank Century) ini atas rekomendasi Bank Indonesia. Pengucuran ‘kasus BLBI Jilid-II” ini diinisiasi oleh mantan pejabat BI tahun 1998, yang ketika mengeluarkan rekomendasi ke LPS menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia yakni Boediono yang menjadi wapres terpilih dari Presiden SBY.
Kasus ini semakin menarik disimak tatkala akhir Agustus silam, Wapres Jusuf Kalla (JK) menyampaikan jawaban ketika ditanya kepada para wartawan. JK menyatakan bahwa kasus finansial di bank yang hanya memiliki 60 ribuan nasabah adalah kasus perampokan kerah putih, bukan karena krisis global atau kegagalan sistemik. JK pun segera meminta Kapolri menahan Robert Tantular. Namun sebelumnya, sangat disayangkan bahwa ketika kasus ini terjadi yakni November 2008, Boediono (menjadi Gubernur BI) justru mengeluarkan laporan yang menjadi alasan legal untuk menyuntik dana LPS ke Bank Century. Boediono dinilai tidak berani melaporkan pemilik Bank Century, Robert Tantular, kepada polisi untuk segera ditangkap. Padahal, apa yang dilakukan Robert jelas merupakan tindak kriminal karena melakukan perampokan terhadap banknya sendiri.
Robert membuat banyak PT ilegal untuk mengalirkan dana nasabahnya ke sana. Sedikitnya Robert Tantular telah menggelapkan dana sebesar Rp 2.8 triliun dari Bank Century dan nasabah Antaboga. Termasuk didalamnya adalah pengelapanuang dengan kredit tanpa jaminan dan tanpa proposal senilai Rp 1,18 triliun. Selain itu menggelapkan dana nasabah Antaboga mencapai Rp 1,4 triliun. Inilah yang disebut sebagai tindakan kriminal, namun Menteri Keuangan Sri Mulyani maupun Mantan Gubernur BI Boediono ketika berpendapat bahwa Bank Century mengalami masalah secara sistemik, dan tidak pernah ‘menganggap’ bahwa kasus Bank Century adalah tindakan kriminal seperti yang dilontarkan Wapres JK. Hal ini terkesan bahwa baik Boediono maupun Sri Mulyani melindungi tindakan kejahatan. Tentu motif ini bisa ditarik lebih panjang terkait deposan besar di Bank Century salah satunya adalah keluarga Murdaya Poo yang menjadi salah satu klien sekaligus penyumbang terbesar dana kampanye Pileg Demokrat + Pilpres SBY-Boediono.
Kriminalitas Triliunan Dipenjara HANYA 4 Tahun
Pada tanggal 10 September 2009 silam, pimpinan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Sugeng Riyono (ingat namanya), hanya memvonis 4 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar/subsider (sebagai gantinya) 5 bulan penjara kepada mantan pemilik sebagian saham PT Bank Century Tbk, Robert Tantular. Vonis ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa yang mengancam delapan tahun penjara.
Saya tidak tahu delik hukum seperti apa yang menjadi pertimbangan hakim majelis hakim lembaga Kejaksaan ini. Orang yang menilap uang hingga Rp 2.8 triliun dan menyebabkan lembaga negara harus mengucurkan dana Rp 6.7 triliun hanya divonis 4 tahun penjara. Hal yang sangat tidak adil bagi masyarakat yang sekadar mencuri ayam hanya untuk menyambung hidup harus babak belur dan diseret di kantor polisi lalu divonis 1 tahun penjara. Tidak sedikit pengadilan menjatuhkan hukuman hampir maksimum bagi para pelaku pencuri kelas ‘teri’, yakni dari 6 bulan hingga 7 tahun. Namun, mengapa seorang perampok 2.8 triliun hanya divonis 4 tahun?
Standar ganda seolah-olah menjadi fenomena mengakar dalam penenagak hukum. Ketika berhadapan dengan penguasa dan pengusaha/konglomerat, para penegak hukum seperti macam ompong dengan ‘punggung pisau’. Dan tidak jarang mereka ‘mengangkangi’ KUHP dan sejumlah sanksi dalam produk UU. Namun, ketika berhadapan dengan rakyat kecil, para penegak hukum seolah menjadi ‘panglima hukum’, malaikat kebenaran. Memposisikan diri seperti ’singa buas’ dengan ‘mata pisau’ yang siap mengiris para pelaku kriminalitas.
Namun, inilah hukum dinegeri ini (lembaga kejaksaan) yang masih jauh berbeda dengan di Taiwan atau Amerika Serikat. Presiden Taiwan yang menilap Rp 80 miliar dihukum seumur hidup oleh pengadilan negeri distrik di Taiwan. Namun kita masih beruntung memiliki KPK yang kini statusnya dikeberi oleh aparat pemerintahan, oknum legislatif dan sejumlah oknum konglomerat. Dalam setiap vonisnya, KPK memberi hukuman yang fantastis. Sebut saja, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokmin Dahuri divonis 7 tahun karena merugikan Rp 14,6 miliar uang negara. Mantan anggota DPR Al Amin Nasution divonis 10 tahun penjara karena menerima suap dalam pengalihan fungsi hutan Kepri.
Masih untungnya kewenangan penuntutan masih ada di lembaga KPK. Padahal baik Pemerintah SBY maupun panja DPR, mengusulkan agar kewenangan KPK dipretelin, fungsi penuntutan KPK dihilangkan agar kembali ke kejaksaan. Dan kasus ini sekali memberi bukti baru bagi ICW yang terus mendukung agar hak penuntutan tidak ada pada KPK. Dari sini, kita tahu siapa yang sesungguhnya ingin korupsi benar-benar diberantas, dan mana yang setengah hati.
Andai saja kasus ini ditangani oleh KPK (selama tidak terindikasi korupsi uang negara, KPK tidak bisa turun tangan), maka mustahil Robert Tantular dihukum 4 tahun penjara! Jangan gunakan standar ‘pisau’ menghukum kami!
Read more...