Bangsa Petani
OPTIMISME BANGSA
Pemberdayaan Petani
Hanya Basa-basi
Gejolak harga komoditas pangan, seperti beras, jagung, kedelai, juga minyak goreng sulit bisa dikendalikan karena produksi di dalam negeri tampaknya tak bisa meningkat secara signifikan. Ini karena pemerintah tidak mempunyai konsep dan strategi yang jelas mengenai ketahanan pangan nasional, terutama untuk menstimulus peningkatan produksi tanaman pangan oleh petani.
Demikian rangkuman pendapat pengamat pertanian HS Dillon, ekonom Sri Adiningsih, dan Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia (Wamti) Agusdin Pulungan, kemarin, di Jakarta. Dihubungi terpisah, mereka dimintai pendapat seputar pembangunan ketahanan pangan nasional di tengah gejolak harga komoditas pertanian di pasar dunia. Masalah tersebut strategis karena berdampak terhadap optimisme bangsa menyangkut keamanan di sektor pangan sebagai salah satu pilar ketahanan nasional.
Dillon, Adiningsih maupun Agusdin senada menyatakan bahwa produksi pangan di dalam negeri tampaknya sulit bisa diupayakan meningkat signifikan karena banyak masalah di sektor pertanian tanaman pangan. Kalangan petani, misalnya, begitu kental dililit kesulitan, mulai menyangkut masalah irigasi yang tak optimal mendukung, pemilikan lahan terus menurun, pupuk dan bibit/benih sering sulit diperoleh, kegiatan pascapanen yang tidak efisien, juga harga jual komoditas yang acap terjun bebas.
Menurut Dillon, salah satu penyebab lonjakan harga komoditas pangan dan minimnya produksi pertanian di dalam negeri adalah paradigma kebijakan yang tidak sesuai tuntutan dan kebutuhan nyata di lapangan.
Dia menekankan, pembangunan ketahanan pangan nasional seharusnya dilakukan di wilayah paling lemah secara ekonomi, yaitu perdesaan. Kenyataannya sekarang ini, program-program pemerintah terkait sektor pertanian di perdesaan justru tidak fokus.
"Paling tepat dalam analisis ini, sekarang kita lihat seberapa besar pembentukan modal di sektor pertanian tanaman pangan di perdesaan. Mestinya ada penciptaan modal. Apalagi selama ini soal pertanian tanaman pangan terus dibicarakan pemerintah," kata Dillon.
Kebijakan pemerintah yang cenderung bergantung terhadap komoditas impor juga menyebabkan pemberdayaan petani terkesan sekadar basa-basi. Tak heran, karena itu, produksi tanaman pangan di dalam negeri sulit diharapkan bisa meningkat signifikan sekaligus mampu menyejahterakan petani secara nyata.
"Masalah produksi ini mengakibatkan harga-harga di pasar lokal terus naik. Tapi, ironisnya, itu tidak dinikmati petani kita. Ini juga tentu mengakibatkan usaha kecil tergerus dan masyarakat luas sulit memperoleh pangan yang relatif murah," ujar Dillon.
Kenyataan itu, lanjut Dillon, melengkapi penderitaan rakyat banyak. Harga pangan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, juga tepung terigu yang terus naik membuat rakyat banyak kian terhimpit dalam kesulitan. "Ini tak harus terjadi kalau saja pemerintah serius membangun ketahanan pangan nasional berdasarkan konsep yang benar-benar berbasis sumber daya lokal serta tidak gampang membuka kran impor," tutur Dillon.
Dia menegaskan, pemerintah seharusnya tidak menyerahkan penuh masalah pasokan, harga, dan mekanisme perdagangan komoditas pangan terhadap dinamika pasar. Apalagi sampai menggantungkan diri terhadap komoditas impor.
Sementara itu, Sri Adiningsih mengungkapkan, kebijakan stabilisasi pangan hanya berdampak mengurangi fluktuasi harga. Ini karena Indonesia telanjur bergantung terhadap komoditas pangan impor. "Jika kita tak bergantung lagi terhadap impor, program stabilisasi harga pangan bisa-bisa tak berguna," katanya.
Ketergantungan terhadap impor, menurut Adiningsih, semakin menyulitkan pemerintah karena volatilitas harga internasional juga tak bisa dikendalikan pemerintah. "Pemerintah tak punya program ketahanan pangan yang mumpuni. Seharusnya jika memang punya, kebutuhan masyarakat, terutama menengah ke bawah jangan sampai harus dipenuhi dari impor. Jika untuk itu saja pemerintah tak bisa berubah, maka sudah pasti apapun kebijakannya akan menemui keterbatasan. Jadi semua yang dilakukan serba terbatas dan sulit diimplementasikan," katanya.
Sementara itu, Agusdin Pulungan menyatakan, krisis dan pangan saat ini harus segera diatasi pemerintah. Untuk itu, dalam jangka pendek dan menengah, pemerintah harus memberikan tugas tambahan kepada BUMN sektor perkebunan dan kehutanan agar ikut berperan menunjang produksi pangan nasional.
Menurut Agusdin, BUMN harus diberi tanggung jawab menanam tanaman pangan pokok dengan bekerja sama dengan petani. "Dengan peningkatan produksi, jarak antara konsumsi dan produksi bisa diturunkan. Bahkan pangan kita bisa surplus," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar