Kamis, 05 Maret 2009

Petani oh Petani


Revitalisasi Pe(r)tani(an) Karena pertanian, kita saling mengenal, saling bersahabat, dan karena pertanian kita bersatu. - Abraham Lincoln (1859) KALIMAT itu ditegaskan mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln lebih dari satu seperempat abad lalu. Penegasan itu amat aktual dihadirkan kembali ketika masalah revitalisasi pertanian menjadi pembicaraan di negeri agraris terbesar di dunia, bernama Indonesia. Penegasan mantan Presiden AS itu sekaligus mencerahkan kita betapa sektor pertanian di sebuah negara paling maju perekonomiannya dan paling berkuasa di dunia saat ini ditempatkan pada posisi amat terhormat dan vital. Pertanian dijadikan alat pemersatu bangsa AS. Pada kenyataannya, dalam sejarah peradaban dunia, tak ada satu pun negara besar dan maju yang mengesampingkan sektor pertanian mereka. Tak ada satu pun negara maju di dunia saat ini yang pertaniannya lemah, bahkan kekurangan pangan



Dalam perspektif dan kacamata negara maju, pertanian lebih diposisikan sebagai food security yang langsung berhubungan dengan keamanan negara. Judul tulisan itu sengaja ditulis Revitalisasi Pe(r)tani(an), karena dalam konteks Indonesia, revitalisasi pertanian akan berhasil dengan baik jika para petani ditempatkan sebagai subyek pembangunan. Paradigma pembangunan pertanian nasional selama ini lebih mengedepankan politik pangan murah, hingga membawa implikasi pada peran petani yang makin terpinggirkan. Potret buram dunia pertanian kita ditandai oleh lemahnya posisi tawar (bargaining position) petani, lemahnya permodalan karena tiadanya akses kredit, kurangnya akses pasar, dan beberapa kondisi inferior lainnya. SELAMA puluhan tahun telah terjadi salah urus negara yang dicitrakan sebagai negara subur bernama Indonesia. Potensi negara agraris yang melimpah, kesuburan tanah yang melegenda, ternyata tak dapat dimanfaatkan sebagai sarana memakmurkan rakyat yang menggantungkan hidup di dalamnya (baca: petani). Kini keadaannya terbalik. Proses marjinalisasi telah dan sedang menggerogoti kehidupan petani. Sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar jumlah penduduk yang tergolong miskin, mencapai 16 persen dari total penduduk. Kantong-kantong kemiskinan tersebar di sentra-sentra pertanian dan pedesaan. Kini ada kecenderungan tingkat kesejahteraan petani menurun. Dua indikator dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan petani Indonesia, yaitu perkembangan jumlah petani yang menggarap lahan kurang dari 0,5 hektar (petani gurem), serta angka nilai tukar petani (NTP). Hasil Sensus Pertanian (ST) tahun 2003 menunjukkan, jumlah petani miskin di Tanah Air kian besar. Angka itu terbaca dari meningkatnya jumlah petani gurem selama sepuluh tahun terakhir. Menurut ST tahun 1993, jumlah petani gurem 10,8 juta KK, membengkak menjadi 13,7 juta KK pada ST tahun 2003 lalu. Angka NTP merupakan rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang harus dibayar petani (IB) dan dinyatakan dalam persen. Menurut data BPS, angka NTP Februari 2005 sebesar 100,05 persen. Angka itu turun 1,22 persen dibandingkan dengan angka Januari 2005 sebesar 101,29 persen. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan IT sebesar 0,77 persen dan pada saat sama terjadi kenaikan IB sebesar 0,46 persen. Kini kondisi yang dialami petani kita tidak lepas dari kebijakan pembangunan yang bertahun-tahun kurang berpihak kepada petani. Bahkan dalam nuansa otonomi daerah seperti sekarang, kondisinya kian salah kaprah. Anggaran APBD II untuk sektor pertanian dalam arti luas oleh pemerintah kabupaten/kota banyak yang dituntut harus dikembalikan dalam bentuk pendapatan asli daerah (PAD). Lembaga dan instansi pertanian di beberapa kabupaten/kota saat ini mendapatkan tugas tambahan yang kontraproduktif dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mulianya. Tupoksi awal lembaga/instansi pertanian adalah sebagai pembina, fasilitator, dan regulator dalam memberdayakan petani yang lebih dititikberatkan pada penyuluhan dan bimbingan teknologi dan manajemen usaha tani. Namun, yang benar-benar terjadi saat ini, banyak petugas pertanian di lapangan telah diberi tugas tambahan semacam debt collector kepada petani yang menunggak pinjaman. Dalam berbagai kesempatan, kenyataan ini sudah sering dikeluhkan petugas pertanian lapangan (PPL maupun mantri tani). Tugas seperti ini berimplikasi pada terganggunya tugas penyuluhan karena para petani cenderung menghindar bila didatangi petugas, sebab dikira akan menagih utang. PERAN utama sektor pertanian adalah membesarkan sektor lain untuk berkembang. Pakpahan (Kompas, 19/5/2004), menyitir pernyataan Bingseng, petani di AS menerima pendapatan dari negara sekitar 150 dollar AS/hektar, sedangkan petani Uni Eropa menerima dua kali dari areal pertanian, baik yang ditanami maupun tidak. Melihat kenyataan itu Bingseng menyarankan agar Pemerintah China menghapuskan segala jenis pajak dan pungutan yang membebani petani. Keberpihakan negara-negara maju terhadap petani mereka juga tercermin dari pemberian subsidi, kegiatan promosi, dan gigih mendesak negara lain untuk membuka pasar bagi komoditas pertanian petaninya. Negara itu juga mati-matian membela petaninya dalam setiap perundingan dunia, sebagaimana kita lihat dalam setiap perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menurut Kaman Nainggolan, untuk mengejar target pertumbuhan pertanian sebesar tiga persen, dengan incremental output ratio (ICOR) sekitar 1,3 persen dan inflasi 8 persen, diperlukan tambahan investasi Rp 48,8 triliun. Dengan asumsi stimulus fiscal 20 persen akan merangsang investasi, maka dibutuhkan dana APBN pertanian minimal Rp 9,76 triliun. Saat ini anggaran yang dikelola Deptan amat kecil, hanya 4,2 persen dari APBN, atau 1,16 persen PDB sektor pertanian tahun 2004 (Sinar Tani, 4–10/5/2005). Komitmen tentang revitalisasi pertanian harus menjadi komitmen semua pemangku kepentingan (stake holders) republik ini. Komitmen pemimpin puncak negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah sering disampaikan di berbagai kesempatan. Revitalisasi pertanian dan pedesaan ditetapkan sebagai salah satu dari triple track pembangunan ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu. Ketika mengambil program doktor, SBY juga sudah menggeluti persoalan itu. Disertasi doktornya di IPB secara spesifik telah mengarah ke substansi itu dengan judul "Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal". Kita berharap revitalisasi pertanian yang disiapkan Kabinet Indonesia Bersatu menjadi alat pemersatu bangsa sebagaimana ditegaskan Abraham Lincoln. Lebih dari itu, revitalisasi juga diharapkan lebih pro petani sebagaimana dilakukan negara-negara maju. Revitalisasi pertanian tanpa keberpihakan kepada petani hanya akan menjadi utopia dan jargon yang menggantung tinggi di langit.

0 komentar:

Posting Komentar

Ethiopia

Seseorang yang menjadi sumber kekuatan terbesar adalah pula sumber kelemahan terbesar

Kumpulan Blog Indonesia

CopyMIX


ShoutMix chat widget

Music

Google Music Search

NapoleonHILL

Kebijakkan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap

  ©Template by ji_aray_ininnawa.